CERPEN, suluhdesa.com - Dokter Cyntia memenuhi ruang benakku. Sosok wanita seperjalanan menyisir selatan Pulau Timor. Wanita yang kupinjamkan bahu untuk menyandarkan kepalanya ketika matanya kantuk. Rambutnya menyibak wajahku menebarkan harum yang membekas.
Senyuman dr. Cyntia di sebuah rumah makan di Kualin terekam. Mengusik hari-hari pertamaku di Betun. Angan-anganku pun terbang. Berimajinasi. Mengulang kisah kala kepala Cyntia yang terlelap dalam tidur. Kepalanya bertumpu pada bahuku. Perasaan jatuh cinta bergelayut di dasar sanubariku.
Aku tinggalkan jejak di tas tangan miliknya. Secarik kertas bertuliskan nomor handphone-ku. Aku memasukkannya ke dalam tas yang sedikit menganga ketika Cyntia bercumbu dengan mimpi-mimpi indah.
Harapanku, Cyntia akan menghubungiku setiba di Betun. Aku terus menanti dengan resah gelisah. Membayangkan tengah malam ditemani rembulan, ia ia akan menelepon atau pun mengirimkan pesan singkat. Bayang-bayang senyum Cyntia bak fatamorgana terpampang di hadapanku.
Seminggu di Malaka, Aku tak mendapat kabar dari dr. Cyntia. Aku hanya mengingat senyuman terakhir saat ia turun dari mobil di kosnya. Tidak ada kata-kata pisah. Selain ucapan terimakasih kepada semua penumpang. Tak ada kata yang istimewa buatku. Ia benar-benar lupa gerangan bahu siapa ia sandarkan kepalanya. Mungkin ia pura-pura lupa dengan peristiwa yang dialami. Dalam pertualanganku malam itu, perjalanan yang paling romantis meskipun dirasakan sepihak saja. Entah dengan dr. Cyntia, apakah ia merasakan serupa?
Arus perasaan begitu deras menguras pikiran dan hatiku. Aku harus mampu membendungnya agar tujuan kedatanganku tercapai. Bukan untuk Cyntia. Tapi untuk tugas penelitian dari kampus. Aku harus lupakan Cyntia. Tak habiskan energi untuk memikirkannya. Aku harus bangkitkan kesadaran bahwa Cyntia hanyalah fatamorgana. Bayang-bayang semu yang hadir di awal-awal keberadaanku di Betun. Ia tak pernah ada. Kalaupun ia ada, toh dia bukan untukku. Dia adalah milik kekasihnya yang menghantarnya di terminal bayangan Oesapa kala itu.
Aku melewati tugas di Betun tanpa bayang-bayang dr. Cyntia. Sejak bertemu Jessica, Cyntia tersisih dari pikiranku. Jessica bak tabib yang menyembuhkan luka kerinduanku pada Cyntia.
Jessica, gadis kampung Harakake. Dialah yang menyambutku saat masuk ke kampungnya. Terlukis senyumannya yang sangat indah. Pendarkan cahaya kehangatan. Setiap tutur katanya dihiasi senyuman. Dandanan seadanya seperti gadis desa pada umumnya.
“Ini Morin.” Lelaki tua itu memperkenalkan diri wanita murah senyum kepadaku.
Aku sedikit terkejut. Kepadaku ia memperkenalkan diri sebagai Jessica.
“Akh, sudahlah. Morin atau Jessica sama saja. Toh, orang yang sama saja. Tak mengubah pandangan tentang sosok yang aku kenal meskipun beragam nama.” Aku menggerutu.
“Dia putri sulungku.” Pria itu melanjutkan.
Morin, eh Jessica yang duduk di depanku tersipu malu. Ia mungkin sadar telah memperkenalkan kepadaku dengan nama yang lain. Aku seolah tak peduli dengan semua yang terjadi agar tidak menyinggung sang ayahnya. Pula menyobek perasaan Jessica.
“Anak mau penelitian di sini, Morin yang akan membantu Nai.”
Artikel Terkait
Senja dan Luka
Bukan Tanpa Sebab Betrand Peto Dan Sarwendah Makin Mesrah, Setiap Orang Tua Wajib Tahu
Deretan Prestasi Peggy Melati Sukma Yang Membanggakan Sebelum Dinikahi Saudagar Kaya Selandia Baru