KUPANG, suluhdesa.com | Program Kelorisasi yang digaungkan oleh Gubernur Nusa Tenggara Timur, Viktor Bungtilu Laiskodat kini sudah berbuah manis. Berdasarkan data yang dihimpun dari dapur kelor, Setiap bulannya memiliki dampak ekonomi yang luar biasa untuk rumah tangga dan para pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Direktur PT. Moringa Wira Nusa sekaligus Founder dapur kelor, Ir. H Dedi Krisnadi menjelaskan setiap bulannya ada 36 ton kelor basah yang terserap dari para petani maupun rumah tangga yang memiliki pohon kelor baik yang ditanam di pekarangan maupun yang yang mempunyai kebun budidaya. Dari 36 ton kelor basah yang sudah per kg dibeli dengan harga Rp 5,000.
"Daun basah yang terserap sebanyak 36 ton. Kalau dikalikan dengan Rp 5.000/Kg maka uang yang yang beredar di masyarakat perbulannya adalah 180 juta. Ini belum di konversi ke serbuk kering dan produk turunannya," kata Dedi kepada wartawan, Jumat (19/08/2022).
Baca Juga: Model Seminari Diaspora Regio Timor, Wujud Kebangkitan Seminari Mataloko Pasca Pendemi Covid-10
Ia menjelaskan dapur kelor tidak memiliki kebun kelor. kelor yang dibeli oleh dapur kelor selama ini diambil dari 36 sentra pengolahan ditambah 14 petani mitra yang merupakan binaan Dekranasda NTT. 36 sentra Pengelolaan itu merupakan binaan dari Korem 161 Wirasakti Kupang yang tersebar di seluruh Kodim dan Koramil seluruh NTT.
Dudi menjelaskan, sentra produksi yang ada di Koramil, bahannya diambil dari masyarakat melalui Babinsa. Babinsa menghimpun kelor dari warga dengan harga Rp5000 per kilogram. kelor yang dikumpulkan itu kemudian diolah di sentra produksi kelor yang ada di Koramil-Koramil sebelum dijual ke dapur kelor.
dapur kelor setelah membeli serbuk kering dari sentra pengelolah, serbuk terserbut akan di clearing ulang menggunakan mesin khusus untuk menghilangkan berbagai bakteri bakteri.
Pasca itu, lanjut Dudi, pihaknya akan mengembalikan serbuk tersebut ke sentra pengolahan untuk dibuatkan produk yang siap dilepas ke pasaran.
"Konsepnya untuk pemberdayaan masyarakat untuk pembuatan celup kelor dengan kapasitas 1.440.000 kantong. Setiap kantong akan diberi upah Rp 250 per kantong. Mereka hanya isi serbuk kedalam kantong celup tersebut. Jika diakumulasi dari 1.440.000 kantong dikalikan dengan Rp 250 makan mengasil perputaran uang sebesar Rp 360 juta perbulan," ujarnya.
Dengan gambaran itu, menurutnya, program kelorisasi yang digaungkan oleh Gubernur NTT telah membawa dampak ekonomi bagi petani dan para pelaku UMKM. Ia merincikan dari penjualan 36 ton kelor basah dikalikan Rp 5.000 menghasilkan uang sebanyak Rp. 180 juta perbulan ditambah upah pengisian kelor celup 1.440.000 kantong dengan upah Rp 250 menghasilkan uang sebanyak Rp 360 juta. Jika diakumulasi, maka uang yang beredar di masyarakat NTT sebanyak Rp 540 juta per bulan.
Dudi menyebutkan, pada bulan Juli 2022, kelor yang berhasil diproduksi sudah mencapai 3,8 ton kering. Jumlah ini lebih tinggi dari beberapa bulan sebelumnya.
Dari jumlah ini, tambah Dudi, dapur kelor sudah bisa memenuhi kebutuhan akan kelor bagi 16.000 jiwa. Atas alasan itu, Dudi mengungkapkan bahwa, dapur kelor belum ada niat untuk mengekspor hasil produksi kelor yang ada.
"Di saat kita masih butuh, lalu kita mengekspor hasil produksi yang ada, itu sama artinya kita mengkhianati warga NTT," imbuhnya.
Dudi juga mengatakan bahwa pada bulan September nanti target produksi dapur kelor diharapkan bisa meningkat.