OASE, suluhdesa.com | Suatu pagi, saya berselisih pendapat dengan pramugari maskapai NAM Air. Masalahnya sederhana saja, soal tongkat.
Seorang pramugari berdiri di samping saya. Ia mengingatkan saya untuk mematikan handphone. Saya penuhi permintaan sesuai standar dan prosedur penerbangan.
Setelah itu saya berniat untuk menyerahkan tongkatnya kepadanya. Dengan maksud ia meletakannya di cabin. Pramugari menolak, alasannya tongkat terlalu panjang.
Saya protes, “Loh, selama ini biasanya tongkat saya diambil pramugari. Standar prosedur yang benar, bagaimana?”
“Oh, tidak bisa. Kecuali di pesawat boing. Karena tongkatnya panjang sehingga tidak bisa dimuat di kabin.”
“Ah, selama ini saya menumpang pesawat jenis ini aman-aman saja, kok.”
Pramugari tetap ngeyel, “Taruh aja di samping.”
Selisih pendapat ini mengawali perjalanan saya ke kota Reinha pagi ini, Senin, 20 Februari 2017.
“Oh, tidak bisa. Kecuali di pesawat boing. Karena tongkatnya panjang sehingga tidak bisa dimuat di kabin.”
“Ah, selama ini saya menumpang pesawat jenis ini aman-aman saja, kok.”
Pramugari tetap ngeyel, “Taruh aja di samping.”
Selisih pendapat ini mengawali perjalanan saya ke kota Reinha pagi ini, Senin, 20 Februari 2017.
Saya melihat wajah pramugari dengan sedikit kesal. Bukannya apa-apa. Ketika saya berinisiatif untuk menyerahkan tongkat (crutch) untuk diamankan, malah ia berdalil macam-macam.
Meskipun suasana bathin sedikit terkoyak pagi itu, toh, akhirnya pesawat yang kami tumpangi di bandara Gewayan Tana.
Ruang kedatangan bandara Gewayan tanah terbilang kecil. Kapasitas sekitar 50-an orang dengan posisi bediri. Tersedia beberapa kursinya. Sambil menunggu bagasi, beberapa penumpang duduk di kursi, selebihnya berdiri.
Setelah mengambil semua bagasi, saya keluar ruang kedatangan dan berdiri di lorong menuju pintu keluar. Diva, om Luiz, Pak Welem, Ibu Mery dan om Udin sedang antri mengambil bagasi.
Ruang kedatangan bandara Gewayan tanah terbilang kecil. Kapasitas sekitar 50-an orang dengan posisi bediri. Tersedia beberapa kursinya. Sambil menunggu bagasi, beberapa penumpang duduk di kursi, selebihnya berdiri.
Setelah mengambil semua bagasi, saya keluar ruang kedatangan dan berdiri di lorong menuju pintu keluar. Diva, om Luiz, Pak Welem, Ibu Mery dan om Udin sedang antri mengambil bagasi.
Sepasang suami istri melintas di depan saya. Suaminya mengenakan kaos hitam berkerak. Tampak belakang kaos terbordir tulisan sekaligus pertanyaan; “Tuhan, Apa Agamamu?”
Entah siapa sosok pria ini. Itu tidak penting! Yang penting adalah tulisan yang tertera baju tersebut dapat menginspirasikan penulis untuk menulis sesuatu tentang Tuhan dan manusia pagi ini.
Pertanyaan itu bisa menjadi pertanyaan seorang filsuf untuk mengetahui keberpihakan Tuhan pada agama yang mana.
Bisa pula pertanyaan itu adalah sebagai wujud kejenuhan akan situasi sosial yang memperdebatkan tentang Tuhan dan saling mengklaim Tuhan.
Tuhan katolik. Tuhan islam. Tuhan protestan. Dan seterusnya. Karena manusia tidak bisa menjelaskan, pertanyaan pun langsung ditujukan kepada Tuhan.
Mudah-mudah bapak ini akan mendapat jawabannya.
Sepintas kita membaca tulisan tersebut, kita terpancing untuk tersenyum.
Sepintas kita membaca tulisan tersebut, kita terpancing untuk tersenyum.
Mungkin saja kita beranggapan tulisan tersebut sebagai sesuatu yang konyol. Jenaka.
Tetapi, bagi penulis, jika menelisik lebih dalam tulisan tersebut memiliki makna dan dapat menghasilkan permenungan yang mendalam.
Dari tulisan ini, kita mengakui bahwa Tuhan itu ada. Pertanyaan, Tuhan beragama apa? Itu yang kita belum temukan jawabannya.
Akhir-akhir ini ruang publik dijejali dengan berbagai atraksi, perbedatan dan segala persilihan yang berbau religius, keimanan dan ketuhanan.
Akhir-akhir ini ruang publik dijejali dengan berbagai atraksi, perbedatan dan segala persilihan yang berbau religius, keimanan dan ketuhanan.
Tuhan menjadi komoditas yang laku dijual. Tuhan menjadi alat politisasi massa. Tuhan menjadi pribadi yang diperdebatkan dan diklaimkan antar agama.
Situasi dan kondisi seperti ini kita pun memaksakan Tuhan untuk menjawab pertanyaan; Apa agama-Mu, Tuhan?
Apakah Tuhan beragama? Jika tidak beragama, mengapa kita menyebut diri beragama karena adanya keyakinan akan Tuhan? Jika Tuhan beragama, kira-kira apa agama-Nya?
Pertanyaan demi pertanyaan yang sulit dijawab.
Situasi dan kondisi seperti ini kita pun memaksakan Tuhan untuk menjawab pertanyaan; Apa agama-Mu, Tuhan?
Apakah Tuhan beragama? Jika tidak beragama, mengapa kita menyebut diri beragama karena adanya keyakinan akan Tuhan? Jika Tuhan beragama, kira-kira apa agama-Nya?
Pertanyaan demi pertanyaan yang sulit dijawab.
Mungkin para filsuf pernah mempertanyakan dalam rangkaian pencarian keberadaan Tuhan.
Para teolog mungkin pernah bertanya dan menemukan jawabannya.
Tapi, pada tulisan ini, penulis berbicara dalam perspektif awam. Bukan seorang filsfuf, bukan pula seorang teolog.
Dua kemunginkan terjadi; Tuhan beragama atau diagamakan?
Dua kemunginkan terjadi; Tuhan beragama atau diagamakan?
Kita sulit mendapatkan terang kebenaran Tuhan itu menganut agama tertentu. Sesuatu yang sangat mungkin terjadi adalah orang atau pihak tertentu “mengamakan” Tuhan dengan agama tertentu.
Itu kerap terjadi di dalam masyarakat kita. Tuhan dibawa-bawa dalam hal yang berbau politis. Seberani-beraninya Tuhan adalah milik mereka, sedangkan yang lain tidak!
Kacamata penulis, agama adalah produk manusia. Dibentuk karena persamaan kesaksian hidup akan sesuatu yang diyakininya.
Kacamata penulis, agama adalah produk manusia. Dibentuk karena persamaan kesaksian hidup akan sesuatu yang diyakininya.
Sesuatu itu terkait dengan sesuatu yang transenden, yang tertinggi, yang maha kuasa dan dengan segala kesempurnaannya. Maka muncul atau lahirlah agama-agama di muka bumi ini.
Tuhan adalah sumber dari pengetahuan setiap agama. Titik sentral iman umat beragama. Kiblat keyakinan umat beragama.
Tuhan adalah sumber dari pengetahuan setiap agama. Titik sentral iman umat beragama. Kiblat keyakinan umat beragama.
Karenanya IA berdiri netral atas semua agama. Ia tidak pernah menyebut diri-Nya beragama katolik, islam, dan seterusnya. Ia hanya mengajarkan KEBAIKAN. Karena Ia adalah Maha Baik.
Tuhan, apa agama-Mu adalah pertanyaan sekaligus tamparan.
Tuhan, apa agama-Mu adalah pertanyaan sekaligus tamparan.
Kita kerap menjadikan agama sebagai komoditas paling empuk untuk meraih politik dan kekuasaan.
Kita yang sering mengkamplingkan diri sebagai kelompok yang ber-Tuhan dan mengagamakan Tuhan seagama dengan kita.
Padahal, Tuhan tidak pernah menyebutkan diri beragama apapun, selain mewarisi nilai-nilai kehidupan dunia yang menjadi bekal surgawi.
Lantas, masihkah kita mau bertanya kepada-Nya; Tuhan, apa agama-Mu? Dan, jika Tuhan menjawab, kira-kira apa agama-Nya? (*/gbm)
Lantas, masihkah kita mau bertanya kepada-Nya; Tuhan, apa agama-Mu? Dan, jika Tuhan menjawab, kira-kira apa agama-Nya? (*/gbm)
Artikel Terkait
Imbas Anaknya Lakukan Penganiayaan, Pejabat Ditjen Pajak Ternyata Menunggak Pajak Dan Tak Laporkan Kekayaan
Peringati HUT Korem 161/Wira Sakti ke-62, Ini Yang Dilakukan Personil Di Taman Makam Pahlawan Kota Kupang
Wow Keren! Tak Hanya Jago Bertempur, Ternyata Personil Korem 161 WS Hebat Memasak, Simak Kegiatan Mereka Ini
BREAKING NEWS! Pelaku Yang Menganiaya Anak Pengurus GP Ansor Hingga Sekarat Dikeluarkan Dari Kampus
Polisi Tetapkan Teman Mario Tersangka Sebab Merekam Aksi Penganiayaan Terhadap Anak Pengurus GP Ansor
Seorang Remaja Di Ende Sebelum Diperkosa Sepupu Kandungnya Ternyata Pernah Diperkosa Mertua
Anak Pejabat Ditjen Pajak Yang Menganiaya Anak GP Ansor Dan Bergaya Hidup Mewah Dikeluarkan Dari Universitas
Gaya Hidup Mario Dandy Satriyo Terungkap, Harga Kost Mewahnya Per Bulan Berkisar Rp 6 M Hingga Rp 50 M
Anaknya Aniaya Anak GP Ansor Hingga Sekarat, Pejabat Ditjen Pajak Dicopot Menkeu, Kini Mundur Dari ASN
Ini Isi Surat Terbuka Pejabat Ditjen Pajak Usai Jabatannya Dicopot Menkeu Gegara Anaknya Aniaya Anak GP Ansor