HUMANIORA, suluhdesa.com | Kepergian Suster Virgula SSPS di negeri Belanda seperti dalam senyap, Senin (27/06/2022). Mungkin tak banyak orang merasa kehilangannya, tetapi bagi mereka yang pernah merasakan belas kasihnya sebuah pukulan berat.
Suster Virgula, biarawati asal Jerman, yang membaktikan hidupnya puluhan tahun di Manggarai. Melayani orang kusta dan cacat.
Supaya ada regenerasi dan tidak ada yang mengkultuskan dirinya, ia memutuskan pulang ke rumah induk SSPS di Steyl Belanda.
Ia menjalani pensiun di sana dengan tujuannya, ia tidak mau orang membanding-bandingkan dirinya dengan pemimpin sesudahnya. Dan, itu sangat mengganggu pelayanan bidang kemanusiaan kelak.
Tak banyak yang tahu bahwa sosok Mother Teresa orang Manggarai dan Flores ini seorang pribadi yang toleran dalam soal kebebasan beragama.
Sekalipun lembaga yang didirikan dan dipimpinnya bernafaskan iman Katolik, ia menerima pasien dari semua kalangan, etnis dan agama apa saja.
Dalam pelayanan pun ia tak membeda-bedakan. Semua orang mendapatkan perlakukan yang sama.
Bahkan ia menerima pasien yang beragama Islam dan Protestan di Rumah Sakit St. Damian. Mereka diberikan keluasan untuk beribadah sesuai dengan keyakinannya masing-masing.
Ia tak pernah memaksakan mereka untuk menganut iman Katolik yang dimaninya. Alhkisah, ada pasien yang meminta untuk dipermandikan, Suster Virgula dengan tegas menolaknya.
Soal keyakinan memang bukan soal kompromi. Keyakinan adalah pilihan bebas. Agama adalah sebuah panggilan dari dasar hati. Bukan restu orang lain?
Satu hal yang penting, pelayanannya adalah pelayanan kemanusiaan sekaligus bernafaskan Katolik. Mewartakan Injil tak berarti memaksakan orang harus menjadi Katolik.
Bukankah perintah cinta kasih merupakan ajaran yang universal sekalipun berdasarkan kitab suci?
Suster Virgula sungguh memahami dan menghayati perintah Sang Guru; Kasihanilah sesamamu manusia seperti engkau mengasihi dirimu sendiri”.
Itulah yang dijalankan Mama Lula, demikian anak-anaknya menyapa. Dan, ini terungkap dari kisah seorang Muslim dalam buku Ziarah Pembebasan (2016).
Dia adalah Panusu, seorang pelaut. Sebagai pelaut, ia telah melintasi laut, menjangkau pulau-pulau di negeri ini dan akhirnya akhirnya berlabuh karena serangan penyakit aneh.
Artikel Terkait
Dibelakang Sir Edmund Hillary Ada Tenzing Norgay Yang Inspiratif, Ikutilah Kisahnya
Fenomena Goyang Bento Mengekspresikan Krisis Pendidikan Kita