SEJARAH, suluhdesa.com | Paga adalah sebuah wilayah kecamatan di Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Wilayah ini masih termasuk dalam wilayah suku Lio (Lio ethnic area) yang berbatasan dengan Kabupaten Ende di sebelah barat. Mitologi warga setempat mengisahkan bahwa Paga berasal dari kata Pagan yang diberikan oleh Portugis yang artinya menyembah berhala.
Sejak dahulu Jejak Portugis di Paga hanya dikenal melalui marga da Costa. Diakui atau tidak diakui bahwa sejarah kehadiran bangsa Kolonial Portugis di Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur didominasi oleh cerita tentang kehadiran Portugis di kampung kecil bernama Sikka.
Pada medio Februari 2014, sebuah situs internet berbahasa Portugis "Journal de Noticias" yang berbasis di Lisbon melansir sebuah artikel dengan judul “Descendentes Do Rei De Sica Querem Museu Para Tesouro Português”, artinya Keturunan Raja Sikka Menginginkan Museum Untuk Harta Karun Portugis. Entah apa sebabnya generasi modern saat ini hanya mereka-reka antara percaya tidak percaya apakah betul Kolonial Portugis pernah meninggalkan Jejak di Paga.
Baca Juga: Dari Mandi Asap Hingga Tawarkan Seks ke Tamu, Tradisi Unik Suku Himba Namibia
Paga adalah sebuah wilayah Kolonial Portugis di selatan pulau Flores. Pada masa kejayaan Portugis di abad XV hingga XVII hampir semua wilayah di kepulauan Flores yang mendapat pengaruh atau yang pernah memiliki Jejak Kolonial Portugis umumnya berada di sisi selatan pulau ini. Dimulai dari pulau Solor, pulau Adonara, Larantuka, Sikka, Paga dan pulau Ende semuanya berada di wilayah pesisir selatan laut Sawu. Alasan utamanya adalah karena dengan menguasai pesisir selatan pulau Flores, Kolonial Portugis dengan mudah dapat melakukan pelayaran ke Pulau Timor dan sekitarnya yang memiliki kayu cendana putih yang sangat mahal harganya di pasaran Eropa saat itu.
Pada masa itu pulau Ende yang kita kenal saat ini dikenal dengan sebutan Ilha de Grande (Pulau Besar) untuk menggantikan Nusa Eru Mbinge sebagai nama asli pulau itu.
Sejumlah penulis sejarah Kolonial Portugis seperti, Francisco Vieira de Figuierido yang menulis buku Portugues Merchant Adventure In South East Asia 1624-1667, Fernando Figuerido dengan karyanya Timor, A Presence Portugesa, Isabel Boavida dengan tulisannya A Presenca Portuguesa No Pasifico. A Missionação, No Preceso Colonial de Timor O E Seu Patrimonio Arqueitecnico Hoje/ Kehadiran Portugis di Pasifik.
Misi, Di Era Pendahuluan Kolonial Timor Dan Warisan Arsitekturnya Saat Ini) atau Hans Hagerdald melalui karyanya berjudul Lord of the Sea, Lord Of the Land, Conflict And Adaptation In Early Colonial Timor, 1600-1800/ Tuan di Laut, Tuan di Darat, Konflik Dan Adaptasi Di Awal Kolonial Timor, 1600-1800 hampir tidak pernah menulis kisah tentang kehadiran Portugis di Paga serta Pulau Ende. Padahal bentang sejarah kehadairan Portugis di Pulau Timor tidak dapat dipisahkan dari kehadiran Portugis di Pulau Flores dan sekitarnya. Kecuali Alfonso de Castro dengan karyanya berjudul "As Possessoes Portuguezas na Oceania" (Kekayaan Portugis di Oceania)yang sedikit menulis tentang Paga sebagai wilayah Kolonial Portugis saat itu namun ia hanya merujuk pada marga da Costa yang diwariskan oleh Kolonial Portugis. Terlepas dari tidak ditulisnya Jejak Kolonial Portugis di Paga oleh para penulis diatas, jika pembaca artikel ini memilki pertalian darah/perkawinan atau pertemanan atau setidak-tidaknya pernah mengunjungi Paga, maka di Paga kita dapat dengan mudah melihat sebagian masyarakat Paga saat ini memiliki ciri fisik yang berbeda dengan kebanyakan orang Flores pada umumnya.
Alasan utama mengapa Portugis selalu menikahi wanita lokal di “terra coloni” (tanah terjajah) karena pasca pasca penandatanganan perjanjian Tordesillas (Tratado de Torsesilllas) tanggal 7 Juni 1494 yaitu sebuah perjanjian pembagian tanah yang baru (nueva tierra) yang ditemukan di luar Eropa antara Portugis dan Spanyol maka Portugis diberi kebebasan untuk menguasai sepenuhnya seluruh wilayah di luar Eropa sepanjang garis Meridian 370 Liga melewati Cape Verde, Afrika Selatan ke arah timur, sedangkan Spanyol menguasai seluruh wilayah sebelah barat Cape Verde kearah benua Amerika.
Pasca penandatanganan Perjanjian Tordesillas maka Portugis kemudian menerapkan strategi politik yang bernama politica asimilados yaitu sebuah strategi politik dengan cara menikahi wanita lokal atau anak raja agar kehadirannya di terra colonial (tanah jajahan) mendapat dukungan dari masyarakat lokal atau raja setempat.
Strategi politik Portugis ini berbeda jauh dengan strategi politik Belanda yang dikenal dengan nama Devide et Ampera atau politik pecah belah. Keturunan dari hasil perkawinan Portugis yang menggunakan strategi “politica asimilados” inilah yang kemudian hari disebut Topass atau Mestizo yang artinya Portugis Hitam (Black Portugess). Belanda menyebutnya dengan zwart Portugess.
Baca Juga: Bule Belanda Kecanduan, Rekomendasi Kerabatnya Kunjungi Labuan Bajo, 6 Pulau Eksotik Ini Diincar
Mateo da Costa dan Antony da Hornai da costa adalah dua bersaudara yang lahir dari hasil perkawinan warga Portugis dengan wanita Larantuka. Kedua sosok ini kelak membentuk sebuah kelompok bernama “Larantuqueros” yang artinya orang Larantuka, kelompok yang dianggap membahayakan serta ditakuti oleh Portugis dan Belanda. Bahkan Jacob van der Hijden, komandan pasukan Belanda yang membawahi Solor dan Timor yang pernah menaklukan kerajaan Sonbai, tewas di ujung pedang Antony a Hornay da Costa.
Kembali ke Paga.