Townsville's Diary: Sopir Bus yang Baik Hati

- Rabu, 25 Januari 2023 | 16:41 WIB
Giorgio Babo Moggi. (Foto: Istimewa)
Giorgio Babo Moggi. (Foto: Istimewa)

KISAH, suluhdesa.com | Townsville, kota kecil di negara bagian Queensland. Ia tidak segemerlap Brisbane, Sidney atau Melbourne. Bahkan orang-orang di Melbourne atau kota besar lainnya belum tentu mengenalnya. Ia kalah tenar dari Cairns, kota wisata di sebelah utara. Namun, Townsville tetap sebuah kota yang beranjak modern. Pelan dan pasti. Kelak menjadi 'new Brisbane' atau 'new Gold Coast'.

Meski kota kecil, kota ini memiliki sarana transportasi publik yang baik - teratur, nyaman dan aman. Jadwal dan rutenya jelas. Penumpang baru sekalipun tidak bingung melakukan travelliing seputar kota dan suburb. Para sopir tidak ugalan-ugalan menyetir. Penumpang turun atau naik pada titik yang sudah ditentukan. Kenyaman dan keselamatan penumpang merupakan tujuan utama.

Saya sering pulang dari kampus malam hari. Perjalanan pasti terjamin. Dua minggu yang lalu, hari jumat, saya meninggalkan perpustakaan jam sepuluh malam. Saya melangkah sepanjang jalan yang terkawal lampu-lampu taman. Suasana hening. Sepi. Terdengar desahan angin yang menggesek dedaunan mengiringi derap langkah saya.

Baca Juga: Kisah Tiko Merawat Ibu Eny Dalam Rumah Mewah Namun Tak Terurus dan Fakta Lain

Setiba di bus stop, tidak ada orang lain, kecuali diri saya sendiri. Hawa dingin Townsville menyayat kulit. Kadang getaran sang bayu menyapa dan membentur atap bus stop. Setengah jam menunggu, bus belum tiba jua. Resah gelisah menghimpit benak. Untuk membebaskan diri dari kerangkeng perasaan tak pasti, saya memilih untuk akses internet.

Sunbus yang dinanti tiba juga. Derunya dari arah timur memecah kesunyian kompleks JCU. Resah gelisah menguap seketika.

Bus berhenti dan menurunkan penumpang di samping gedung education central. Dua orang penumpang turun dan berpisah. Seorang ke arah selatan, seorangnya lagi ke arah barat. Mereka mahasiswi yang tinggal di akomodasi sekitar kampus.

Pandangan saya terus tertuju ke bus. Beberapa saat kemudian, sang sopir turun dari bus dan melangkah melewati lorong di antara education central dan security room. Lima menit berselang, sang sopir kembali ke bus. Langkahnya gontai karena usia. Tisue yang digenggamnya terburai ke lantai. Ada sesuatu yang tidak beres dalam bus tersebut. Rupanya ia harus membersihkannnya.

Lalu ia mendatangi saya yang menunggu di seberang jalan. Ia menggenggam sebuah gelas berukuran besar. Dugaanku, dia hendak meneguk minuman hangat, pengusir dingin yang merajam tubuhnya, di halte sembari bercerita. Prasangkaku meleset. Ia hanya menyampaikan permohonan maaf karena bus yang disetirnya lagi bermasalah. Seorang penumpang yang baru turun muntah yang menyebabkan dek bus dekil dan tidak layak jalan. Karena hal itu, ia meminta saya sabar menanti bus pengganti. Usai berkata demikian, ia kembali ke bus, menyetir serta memarkir bus di sebelah timur bus stop.

Setengah jam kemudian, bus pengganti datang. Di atas kaca depan bus tertulis 'not in service'. Si sopir memarkir di depan halte dimana saya duduk. "Sorry, Mate", kata sopir tersebut sambil melangkah menuju bus yang bermasalah. Lalu, ia memindahkan tas sopir yang baik itu ke bus yang parkir di depan saya.

Saya terus mengamati mereka. Sopir tua melangkah menuju bus pengganti dan ambil posisi duduk di belakang setir. Dari dalam bus terdengar suaranya dengan aksen Queensland yang maha dasyat kentalnya. Saya hanya bisa menangkap kalimat, "Come in, Mate!" Nafas saya menjadi lega karena kabut kegelisahan terurai dan lenyap setelah sekian jam liputi hati dan benak di halte bus.

Hanya kami berdua di dalam bus. Tampaknya ia sosok yang ramah. Saya pun berani mengajaknya 'ngobrol'. Bicaranya cepat dan tidak terlalu jelas. Apakah karena pelafalannya atau telingaku yang tidak terlalu familiar dengan dialek Queensland? Bagaimanapun saya harus menunjukkan respek kepadanya. Ya, kadang-kadang, saya harus seolah-olah paham curhatannya.

Sebelum jembatan yang melintasi Ross River, saya menyampaikan tujuan saya, "Mate, I go down here, actually, I have to walk four hundred meters to stockland. I stay next to MacDonald."

Sepuluh meter mencapai halte, saya menunjuk ke arah neon box McDonald yang dapat terlihat dari posisi kami. "I stay opposite of McDonald"', terang saya sekali lagi.

Halaman:

Editor: Frids Wawo Lado

Tags

Terkini

Renungan Indonesia: Makna Intelijen Negara

Senin, 6 Maret 2023 | 09:28 WIB

Pada Kasus Dugaan Bunuh Diri, Wartawan Buat Apa?

Sabtu, 18 Februari 2023 | 06:46 WIB
X