• Selasa, 26 September 2023

Jokowisme Dan Diskursus Kekuasaan, Representasi Kepemimpinan Terbaik Indonesia Sejak Era Kemerdekaan

- Jumat, 1 September 2023 | 16:57 WIB
Sintus Runesi (Staf Pengajar SMA Seminari St. Rafael Kupang) (Istimewa)
Sintus Runesi (Staf Pengajar SMA Seminari St. Rafael Kupang) (Istimewa)

Penulis: Sintus Runesi (Staf SMA Seminari St. Rafael Kupang, NTT)


Suluhdesa.com | Di Jakarta, pada Minggu (14/05/2023), Giring Ganesha, Ketua Umum PSI menyatakan bahwa “bagi kami, bagi PSI, Jokowi tidak hanya seorang negarawan Indonesia. Pak Jokowi sudah menjadi ide besar, gagasan besar tentang ke-Indonesiaan yang kita cita-citakan.”

Jokowi menjadi Jokowisme, subjek yang diringkas menjadi ideologi. Dan dalam podcast Akbar Faisal (30/5), Andy Budiman memerjelas keyakinan itu dengan menyatakan bahwa Jokowi merupakan representasi kepemimpinan terbaik yang pernah dimiliki Indonesia, sejak era kemerdekaan.

Representasi itu sendiri menyiratkan dan menunjukkan apa yang disebut sebagai mimpi Indonesia, bahwa setiap orang Indonesia, siapa pun dia, dari golongan mana saja, kalau dia belajar keras, bekerja keras, maka ia bisa menjadi apa saja yang diinginkannya, sebagaimana hal seorang Jokowi yang berasal dari kalangan kecil, namun bisa menjadi seorang presiden. Itulah Jokowisme

Baca Juga: Rocky, Jokowi Dan Parallax Politis

Lebih lanjut Andy Budiman menunjukkan mengapa Jokowi layak untuk menjadi alat ukur, mistar ukur model kepemimpinan nasional.

Budiman menunjukkan dari segi gaya kepemimpinan. Dengan merujuk pada empat faktor kepemimpinan à la Henry Kissinger (2022).

Budiman menegaskan bahwa Jokowi memenuhi keempat kriteria yang disyaratkan bagi seorang pemimpin yang berhasil, yakni punya visi, strategi untuk menjalankan misi itu, yang ditopang dengan keberanian dan karakter.

Penjelasan Budiman dalam podcast Akbar Faisal itu secara gamblang menunjukkan kepada kita apa yang dimaksud dengan Jokowi sebagai mistar ukur.

Di sini kita melihat bahwa ukuran keberhasilan itu ditarik menurut “yang mungkin” (possible) dan “berguna” (useful).

Žižek (2009) menegaskan bahwa ideologi yang menubuh itu selalu coba disumbat dengan kegunaan (utility). Maksudnya, dalam kehidupan sehari-hari, ideologi itu bekerja dengan lebih efektif melalui kesadaran pragmatis yakni  kegunaan.

Oleh karena itu, menurut Žižek, seseorang tidak pernah boleh lupa bahwa dalam tatanan semesta simbolik, kegunaan selalu berfungsi sebagai gagasan reflektif, mencakup di dalamnya juga penegasan atas kegunaan sebagai pemberi makna.

Baca Juga: Jokowi Bicara Tantangan Berat Sebagai Presiden, Anies Baswedan: Kemerdekaan Usaha Bersama

Dalam konteks politik paska-kebenaran yang dibangun di atas petaka metafisika, di mana penggabungan (conflation) yang amburadul antara teori dan praktek, pengetahuan dan kekuasaan, kebenaran dan kegunaan, semantisasi sosok Jokowi tidak dimaksudkan sebagai usaha untuk memahami apa yang benar dalam politik kita, tetapi lebih berhubungan dengan agenda praktis mengenai apa yang bisa dicapai dalam konteks percaturan politik 2024.

Halaman:

Editor: Idus Walanatu

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Ekspresi Seni: Dari Pinggiran Untuk 101 Tahun Kota Sari

Senin, 18 September 2023 | 07:53 WIB

Rocky, Jokowi Dan Parallax Politis

Jumat, 25 Agustus 2023 | 16:45 WIB

Estetika Paradoks: Membaca Rupa FKIP Undana

Kamis, 10 Agustus 2023 | 14:37 WIB

Rahasia Pengelolaan Dana Desa yang Sukses

Kamis, 27 Juli 2023 | 20:05 WIB

Pentingnya Pembangunan Desa bagi Masyarakat

Kamis, 27 Juli 2023 | 18:49 WIB
X