Penulis: Sintus Runesi (Staf SMA Seminari St. Rafael Kupang, NTT)
Suluhdesa.com | Di Jakarta, pada Minggu (14/05/2023), Giring Ganesha, Ketua Umum PSI menyatakan bahwa “bagi kami, bagi PSI, Jokowi tidak hanya seorang negarawan Indonesia. Pak Jokowi sudah menjadi ide besar, gagasan besar tentang ke-Indonesiaan yang kita cita-citakan.”
Jokowi menjadi Jokowisme, subjek yang diringkas menjadi ideologi. Dan dalam podcast Akbar Faisal (30/5), Andy Budiman memerjelas keyakinan itu dengan menyatakan bahwa Jokowi merupakan representasi kepemimpinan terbaik yang pernah dimiliki Indonesia, sejak era kemerdekaan.
Representasi itu sendiri menyiratkan dan menunjukkan apa yang disebut sebagai mimpi Indonesia, bahwa setiap orang Indonesia, siapa pun dia, dari golongan mana saja, kalau dia belajar keras, bekerja keras, maka ia bisa menjadi apa saja yang diinginkannya, sebagaimana hal seorang Jokowi yang berasal dari kalangan kecil, namun bisa menjadi seorang presiden. Itulah Jokowisme.
Baca Juga: Rocky, Jokowi Dan Parallax Politis
Lebih lanjut Andy Budiman menunjukkan mengapa Jokowi layak untuk menjadi alat ukur, mistar ukur model kepemimpinan nasional.
Budiman menunjukkan dari segi gaya kepemimpinan. Dengan merujuk pada empat faktor kepemimpinan à la Henry Kissinger (2022).
Budiman menegaskan bahwa Jokowi memenuhi keempat kriteria yang disyaratkan bagi seorang pemimpin yang berhasil, yakni punya visi, strategi untuk menjalankan misi itu, yang ditopang dengan keberanian dan karakter.
Penjelasan Budiman dalam podcast Akbar Faisal itu secara gamblang menunjukkan kepada kita apa yang dimaksud dengan Jokowi sebagai mistar ukur.
Di sini kita melihat bahwa ukuran keberhasilan itu ditarik menurut “yang mungkin” (possible) dan “berguna” (useful).
Žižek (2009) menegaskan bahwa ideologi yang menubuh itu selalu coba disumbat dengan kegunaan (utility). Maksudnya, dalam kehidupan sehari-hari, ideologi itu bekerja dengan lebih efektif melalui kesadaran pragmatis yakni kegunaan.
Oleh karena itu, menurut Žižek, seseorang tidak pernah boleh lupa bahwa dalam tatanan semesta simbolik, kegunaan selalu berfungsi sebagai gagasan reflektif, mencakup di dalamnya juga penegasan atas kegunaan sebagai pemberi makna.
Baca Juga: Jokowi Bicara Tantangan Berat Sebagai Presiden, Anies Baswedan: Kemerdekaan Usaha Bersama
Dalam konteks politik paska-kebenaran yang dibangun di atas petaka metafisika, di mana penggabungan (conflation) yang amburadul antara teori dan praktek, pengetahuan dan kekuasaan, kebenaran dan kegunaan, semantisasi sosok Jokowi tidak dimaksudkan sebagai usaha untuk memahami apa yang benar dalam politik kita, tetapi lebih berhubungan dengan agenda praktis mengenai apa yang bisa dicapai dalam konteks percaturan politik 2024.
Artikel Terkait
Misteri Lima Bulan Berakhir! Kevin Ditemukan dan Momen Bahagia Mengalir Tak Tertahankan
Mengharumkan Nama Sekolah! SMP Negeri 10 Kupang Sabet Gelar Juara Givans Cup II
Pesan Terakhir Wagub NTT Saat Pimpin Apel, Sosok Penjabat Gubernur NTT Beredar Luas di Media Sosial
Ramalan Zodiak Sabtu 2 September 2023, Taurus: Sumber Energi Positif yang Tak Terbatas
Gubernur Viktor Laiskodat Torehkan Prestasi di Ujung Bakti, NTT Raih 3 Award TPID 2022, Ini Nominasinya
Solidaritas Internasional: Pemerintah New Zealand Sumbangkan Gudang Logistik untuk PMI NTT
Dubes New Zealand Kunjungi dan Berikan Bantuan untuk Antisipasi Kekeringan bagi Masyarakat Kelurahan Naioni
Saat Pimpin Apel Terakhir Bersama ASN, Nae Soi: VBL Minta Maaf Jika Ada Banyak Program Belum Direalisasikan
FESTIVIBES by KVIBES.ID Sukses Digelar Untuk Pertama Kalinya Di Bali, KPOP Denpasar Antusias Dan Senang
JVIBES.ID Sukses Menggelar Helloweebs Di Epiwalk Mall Jakarta Selatan, Dimeriahkan 20,000 Cosplayer