Mengapa BIN Keliru Menanggapi Saran Pastoral Perantau Romo Paschal?

- Selasa, 7 Maret 2023 | 10:29 WIB
Ilustrasi tolak perdagangan orang. (Suluh Desa)
Ilustrasi tolak perdagangan orang. (Suluh Desa)

"Di Indonesia, khususnya di wilayah Keuskupan Pangkal Pinang, Romo Paschal (Romo Chrisanctus Paschalis Saturnus (Romo Paschal), yang mengepalai Komisi Keadilan Perdamaian Pastoral Migran dan Perantau (KKPPMP) melayani para korban perdagangan orang dalam shelter Theresia."

 

Oleh: Dominggus Elcid Li, PhD, Sosiolog, peneliti IRGSC (Institute of Resource Governance and Social Change), dan Anggota Aliansi Warga NKRI tolak Perbudakan dan Perdagangan Orang.


suluhdesa.com | Sejak lama isu perdagangan orang (human trafficking) di Indonesia tidak diperhatikan sebagai masalah serius. Definisi perdagangan orang dalam pasal 1 UU No.21/2007 : Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang terekploitasi.

Jika dibandingkan dengan road map investasi Indonesia yang bisa disusun hingga 30 tahun ke depan, hampir bisa dipastikan tidak ada perencanaan tentang bagaimana menanggulangi perdagangan orang di Indonesia untuk 1 tahun ke depan sekalipun dalam perspektif pertahanan (defense) dan keamanan (security). Bahkan hampir bisa dipastikan dalam level Kementrian Pertahanan Republik Indonesia yang dipimpin Letjen (Purn.) Prabowo, tidak mempunyai grand design tentang bagaimana bagaimana konsep pertahanan dan keamanan anti perdagangan orang.

Baca Juga: Tanggapi Dinas Pendidikan Masuk Kantor Jam 5.30 Pagi, Wagub NTT Tidak Ingin Berspekulasi Diterapkan Dinas Lain

Negara dan kebijakan (policy)

Ada beberapa hal yang menyebabkan Republik Indonesia masih terlambat dalam mengeluarkan kebijakan terkait perdagangan orang. Pertama, persoalan perdagangan orang, hanya dianggap sebagai persoalan administrasi ketenagakerjaan.

Dalam perspektif para pejabat Indonesia bahkan dalam posisi pembuat kebijakan, persoalan perdagangan orang hingga hari ini belum dilihat sebagai persoalan keamanan (security), maupun pertahanan (defense), sehingga slogan dominan yang muncul hanya lah sebatas TKI Prosedural atau TKI Non prosedural. Perdagangan orang hingga hari ini tidak pernah diletakan sebagai sebuah persoalan extraordinary crime (kejahatan luar biasa).

Dengan hanya meletakan persoalan perdagangan orang sebatas persoalan administrasi ketenagakerjaan semata, strategi pertahanan dan keamanan tidak mungkin dibuat. Akibatnya jejaring kriminal lintas negara yang beroperasi bebas di Indonesia tidak tersentuh. Lebih buruk lagi, sekian ragam aparat negara yang berasal dari berbagai institusi yang terlibat dalam jejaring perdagangan orang dapat beroperasi dengan bebas di di dalam berbagai institusi negara Indonesia dan kebal hukum.

Kedua, kodifikasi hukum Indonesia masih lemah dan tertinggal dalam merespons tantangan akibat globalisasi khususnya kejahatan terkait jaringan kriminal global. Misalnya, UU Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) No.21 Tahun 2007 yang mengacu pada Palermo Protocol (2000) memang sudah diberlakukan di Indonesia belum mempunyai fondasi yang cukup yang membuatnya mungkin berlaku dengan efektif. Salah satunya penyebabnya adalah Undang-Undang hasil ratifikasi, tidak menuliskan ‘analisa gap’ (gap analysis) dalam naskah akademik yang isinya membuka keterbatasan UU TPPO karena keterkaitan dengan UU lain yang sudah ada sebelumnya, maupun tantangan terkait kompleksitas institusi negara yang berhubungan dengan: (1) kewenangan antara institusi, (2) mekanisme kerja antar institusi negara menangani masalah terkait.

Ketiga, seharusnya UU Pertahanan No 3. Tahun 2002 tidak hanya meletakan persoalan pertahanan negara hanya sebatas ‘wilayah negara’ dan ‘bangsa’ Indonesia, namun sudah mampu meletakan ancaman dalam perspektif pertahanan dan keamanan terhadap ‘warga negara’ dalam kaitannya dengan globalisasi. Ancaman terhadap warga negara Indonesia yang terkait dengan jejaring kriminal global hingga hari ini belum mendapatkan tanggapan yang berarti dari Menteri Pertahanan.

Misalnya seluruh wilayah pantura (pantai utara Pulau Jawa) merupakan zona rekrumen jaringan kriminal perdagangan orang yang terutama berasal dari jejaring kapal ikan asal RRT dan Taiwan yang beroperasi secara global. Para pelaut yang dibuang ke laut, diperbudak di atas kapal belum menjadi perhatian serius negara Indonesia. Jika seluruh persoalan ini hanya dibebankan kepada Kementrian Luar Negeri, hampir dipastikan para duta besar hanya sebatas menulis ‘nama dan derita korban’ semata. Namun jika pertahanan dan keamanan termasuk di dalamnya berurusan dengan perlindungan warga negara terhadap aksi kriminal jaringan global maka proses pencegahan yang seharusnya bisa dilakukan di dalam wilayah Republik Indonesia. Dengan cara ini jejaring kriminal global yang beroperasi di wilayah Indonesia bisa diperangi.

Hal yang sama berlaku untuk kegiatan kriminal yang berada di sekitar Selat Malaka, dimana Pelabuhan di Batam menjadi salah satu simpul utamanya. Batam sebagai simpul utama merupakan perlintasan korban perdagangan orang yang terutama berasal dari NTB, NTT, dan Jawa Timur.

Halaman:

Editor: Frids Wawo Lado

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Di(tendang)an Bola Liar PDIP

Selasa, 4 April 2023 | 10:56 WIB

Membaca Kontestasi Dapil 1 NTT Menuju Senayan 2024

Selasa, 21 Maret 2023 | 21:54 WIB

Membaca Estetika Lingkungan di Kota Kupang

Minggu, 12 Maret 2023 | 13:05 WIB
X