SULUHDESA.COM | Berita di media online ini juga sebagai bentuk paradoksnya sebuah lembaga pendidikan tinggi. Satu sisi FKIP sebagai lembaga yang mencetak calon guru seharusnya menjadi contoh baik dalam proses demokrasi yang dielektis. Sisi yang lain, FKIP tidak hanya memiliki kemampuan dalam mengajar dan mendidik calon guru. Akan tetapi, juga mampu bermenuver untuk memenangkan pertarungan dalam dunia politik secara etis dan kritis.
Oleh:
Karolus Budiman Jama
Dosen Seni Undana dan Koordinator Prodi S-2 Ilmu Linguistik PPs Undana
Estetika Paradoks: Membaca Rupa FKIP
Estetika paradoks berangkat dari cara berpikir yang berbeda. Yakob Sumardjo (2014) seorang budayawan, filsuf, dan kritikus seni mengatakan setiap manusia memiliki kemampuan menangkap realitasnya sendiri.
Realitas ini ditangkap secara mendasar, mendalam, meluas dan menyeluruh, dengan suatu konstruksi pikiran tertentu. Inti dari estetika paradoks adalah pluralitas. Dalam bacaan cultural studies tidak ada kebenaran mutlak/tunggal termasuk melihat objek seni. Kebenaran itu selalu relatif bergantung cara ia melihat realitas.
Bersumber dari cara berpikir inilah setiap karya seni tidak ada yang lebih bagus dari yang lain. Keindahan itu menjadi subjektif dan sangat bergantung pada selera penikmat. Implikasi dari cara pandang berbeda terhadap sebuah objek seni adalah terjadi paradoks. Inilah yang disebut sebagai estetika paradoks.
Cara pandang di atas menjadi dasar dalam membaca rupa FKIP Undana dalam perjalanan selama 61 tahun ini. Sedikit kembali ke sejarah Undana. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) merupakan salah satu fakultas dari empat fakultas awal sejak Universitas Nusa Cendana (Undana) didirikan.
FKIP di bawah naungan Undana adalah angin segar bagi Provinsi Nusa Tenggara Timur. Fakultas ini tentu akan menjadi tiang yang kokoh dalam membentuk peradaban manusia Indonesia dari Nusa Tenggara Timur. Harapan terbesar adalah bukan (N) nanti Tuhan (T) tolong apalagi (N) nasib (T) tidak (T) tentu. Melainkan, dari daerah ini melalui FKIP Undana melahirkan pendidik, pemikir, dan penggerak kemajuan bangsa yang berciri Nusa Tenggara Timur.
Membacaa rupa FKIP Undana, saya memulainya dari bendera FKIP. Pertama, warna bendera FKIP Undana “kuning”. Dalam bacaan saya, warna simbol kemegahan, harapan, dan kecemerlangan. Hal ini sesuai dengan karakteristik warna kuning terdapat kecerahan, terang yang mengandung arti mencerdaskan.
Sesuatu yang megah dan mencerdaskan tentu terlihat pada bangunan fisiknya. Saat ini FKIP perlahan mendandani lingkungan fisik lebih seksi. Namun, kemegahan fisik FKIP Undana yang megah dari luar itu harus diimbangi dengan tugasnya sebagai lembaga yang mencerdaskan anak bangsa yang menuntut ilmu di lembaga ini. Estetika fisik bukan saja pemenuhan. Misalnya, pemenuhan kebutuhan ruang kerja yang nyaman bagi dosen. Penataan yang estetik untuk meningkatkan kualitas kerja dalam melayani mahasiswa.
Sesungguhnya sangat diperlukan ruang baca, ruang diskusi yang kondusif, dan ruang ekspresi seni bagi mahasiswa. Ruang-ruang ini adalah ciri khas sebuah lembaga akademik untuk membangun iklim akademik. Dan barangkali dapat memicu meningkatnya status akreditasi setiap prodi yang ada di FKIP Undana.
Bendera sebagai simbol kecerdasan terwujud dalam relasi harmonis antara seluruh civitas akademika (mahasiswa, clearning service, dosen, tendik, dan pimpinan fakultas) yang saling menggenapi dan saling mendukung untuk membangun kualitas lulusan. Warna kuning yang mencerdaskan justru dapat menghapus atau menghilangkan intrik etonsentris yang justru menyusutkan nilai ilmiah satu lembaga.
Artikel Terkait
Jaab Kunst (1930): Perekam Jejak Estetika Musik Flores
Membaca Estetika Lingkungan di Kota Kupang
Membaca Estetika Berpikir Prof. Roy Nendissa
Estetika Tradisi: Mensejahterakan Kota Kupang
Estetika Feminisme: FKIP Undana dan Perwakilan Perempuan