SULUHDESA.COM | Dalam refleksi 78 tahun Indonesia merdeka, miskinnya gagasan pemimpin dalam membangun NTT yang harus diubah. NTT membutuhkan pemimpin yang mengakar pada kebudayaannya. Pemimpin yang mampu membangun daerah ini dengan cara yang khas keNTT-an. Pemimpin yang menghargai sisi kemanusiaan NTT, bukan sebaliknya merendahkan martabat manusia NTT dan kebudayaannya.
Opini: Karolus Budiman Jama
Dosen Seni dan Koordinator Prodi S-2 Ilmu Linguistik PPs Undana
Indonesia tahun ini memperingati hari kemerdekaan yang ke 78. Merayakan Indonesia merdeka, kita diingatkan kembali pada seorang tokoh besar bangsa ini, Bung Karno.
Dialah perumus dasar ideologi negara. Tentang ideologi negara ini, NTT berbangga, sebab di sinilah ideologi itu di renungkan.
Dari tanah ini lahir lima sila Pancasila.
Dalam mengisi kemerdekaan, banyak cita-cita negara yang telah dicapai maupun yang belum terpenuhi. Hal ini tentu menjadi agenda negara ke depan.
Estetika Nietzche: NTT Menjadi Diri Sendiri
Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan bagian penting dari perjalanan Indonesia sebagai sebuah negara.
Melaui UU No. 18 tahun 1965, NTT secara resmi atau de jure menjadi sebuah provinsi.
Terbentuknya Provinsi NTT menunjukan bahwa daerah ini memiliki potensi yang hebat baik sumber daya manusia maupun sumber daya alamnya.
Oleh karena itu, dengan segala konsekuensinya NTT memiliki hak dan kewajiban dalam membangun negara.
Haknya adalah mendapat perhatian pemerintah pusat dalam berbagai bidang kehidupan.
Sejauh ini, perhatian itu telah diberikan oleh negara, meskipun tidak semua dirasakan oleh masyarakat provinsi NTT.
Sebab ada beban pembanguan yang ditanggungkan kepada pemerintah NTT. Tentang perhatian pemerintah negara, paling tidak ada bukti pembangunan selam 78 tahun Indonesia Merdeka di NTT.
Artikel Terkait
Jaab Kunst (1930): Perekam Jejak Estetika Musik Flores
Membaca Estetika Lingkungan di Kota Kupang
Membaca Estetika Berpikir Prof. Roy Nendissa
Estetika Tradisi: Mensejahterakan Kota Kupang
Estetika Feminisme: FKIP Undana dan Perwakilan Perempuan
Estetika Paradoks: Membaca Rupa FKIP Undana