“Cinta laksana pohon yang tumbuh di hutan belantara, tumbuh di bawah rimbunan pepohonan besar tanpa sinar matahari. Pohon itu tetap tumbuh. Akan tetapi, tingkat pertumbuhannya akan lebih sempurna jika terkena sinar matahari. Matahari yang menyinari pohon itulah wajah atau gambaran hubungan dalam cinta.” - Jean P. Sartre -
Penulis: Eki Lalo (Mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandira Kupang)
=============================
OPINI, suluhdesa.com | Manusia pada dasarnya adalah makluk sosial (Ens Sociale), karena hakekatnya sebagai yang tidak bisa hidup tanpa yang lain maka Manusia perlu sadar dan membentuk sebuah pola kehidupan yang utuh yang terbentuk dari pribadi-pribadi yang memiliki sens akan pentingnya kebersamaan. Untuk mencapai sebuah masyarakat sosial yang utuh maka perlu adanya suatu konsep diri yang benar. Suatu konsep yang tidak terlepas dari pengaruh eksistensi Manusia, bahwa memang ada sebuah kenyataan dalam diri setiap pribadi untuk menerima dan diterima. Kenyataan ini memang mutlak ada dan dibawa oleh Manusia sejak dalam kandungan, menerima dan diterima itu perlu sehingga suatu kesetaraan dalam hubungan bersosial itu ada. Aku dan kamu sama inilah kesetaraan yang sejati, jika semua orang paham akan hal ini maka tidaklah mungkin suatu dunia yang utopis itu dapat dicapai. Kalau berbicara mengenai Manusia sebagai makluk sosial maka pertama-tama perlu dibahas pula Manusia sebagai makluk idividu atau personal. Persona atau pribadi adalah satu dimensi mendasar Manusia. Sebagai pribadi Manusia mempunyai kemampuan untuk menentukan dirinya sendiri. Ia juga memiliki cara berbeda yang khas yang dibandingkan dengan makluk yang lain. Persoalannya, apa hakikat Manusia sebagai persona atau pribadi? Mana saja yang menjadi nilai-nilai kepersonalan Manusia? Apa yang termasuk elemen-elemen persona Manusia dalam kehidupan sehari-hari? Namun, sebelum kita menggali lebih dalam tentang persoalan menusia sebagai makluk personal kita perlu pula melihat arti kata individu yang memiliki dwimakna jika disematkan pada obyek yang berbeda yakni pada makluk infrahuman dan Manusia. Pengertian Individu Kata individu mendapat sedikit pergeseran makna jika disematkan untuk menjelaskan makluk infrahuman dan Manusia. Setiap makluk di dunia ini memiliki individualitasnya tersendiri. Syarat sebuah individu yakni bahwa ia memiliki identitas yang tidak terbagi sehingga ia bisa dibedakan dari yang lain. Bagi makluk infrahuman pengertian “individu” dikaitkan dengan jenis. Kalau kita mengatakan bahwa kita memiliki tiga pohon pisang, itu berarti kita memiliki tiga individu pohon pisang demikian juga dengan pohon kelapa. Maka apabila kita ingin membedakan individu pohon kelapa dan individu pohon pisang, kita hanya bisa membedakan keduanya itu dari segi jenis spesiesnya. Demikian juga kalau kita ingin membedakan anjing dan ikan, keduanya hanya akan dibedakan dari jenis spesiesnya. Namun, setiap spesies sebagai individu di mana-mana tetap sama dan seragam. Selain itu juga dalam setiap spesia bisa diberi penomoran, hal ini tidak berkaitan dengan kualitas melainkan kuantitas. Dengan demikian perbedaan pada makluk infrahuman yang mungkin hanyalah perbedaan kuantitatif dan tidak mungkin relevan membuat perbedaan kualitatif. Singkatnya kata individu pada makluk infrahuman dikaitkan dengan tiga ciri, yakni bersifat kuantitatif, numerik, uniform atau seragam. BACA JUGA:Opini Liar Kebakaran Kilang Cilacap Kuliah Kerja Nyata Menjadi Saat untuk Berbagi dan MengabdiSedangkan bagi Manusia pengertian “individu” tidak sekadar jenis atau spesies, tidak pula bersifat seragam, apalagi numerik. Individu Manusia terkait dengan keunikan. Keunikan itu berakar pada dimensi kerohanian. Sebagai individu Manusia memang merupakan jenis yang sama tetapi memilki nilai yang berbeda. Karena itu perbedaan antara seorang individu dengan seorang individu yang lain pada Manusia tidak saja terlihat dalam aspek fisiknya seperti bentuk tubuh, warna rambut,warna kulit, melainkan terlebih-lebih dalam keunikan yang serba baru yang ada padanya. Namun, dalam keunikan itu tak terhapuskan kejasmaniannya. Artinya dari segi materi Manusia merupakan satu individu. Akan tetapi dari segi kerohanian, ia adalah satu kesatuan. Dengan demikian kata “individu” menunjukkan pada keutuhan yakni keutuhan aspek kerohanian dan aspek kejasmanian. Hal ini seiring dengan pengertian harafiah dari kata individu itu sendiri, yakni kata “In” yang artinya “tidak” dan “ dividere” yang berarti “membagi”, maka dari itu individu secara harafiah artinya tidak terbagi. Bagi Manusia pengertian ini dikaitkan dengan kesatuan badan dan jiwa. Dengan kata lain, individualitas mengandung arti keutuhan diri. Jadi, Manusia dan makluk infrahuman memiliki individualitas tetapi perbedaan makna dari keduanya terletak pada derajat kesatuan. Derajat kesatuan Manusia adalah yang paling tinggi dibandingkan dengan makluk infrahuman. Bagi Manusia diri merupakan sumber kegiatan dan tindakan. Maka dari itu individualitas Manusia terletak pada derajat dan martabatnya. Hakekat Manusia Sebagai Persona atau Pribadi Selain individu, kata persona juga dikenakan pada Manusia. Di zaman sekarang kata ini bahkan lebih banyak digunakan daripada kata individu. Secara etimologis kata persona berasal dari bahasa Yunani yang ertinya topeng. Konon dalam tradisi seni drama Yunani para pemain mengenakan topeng sesuai dengan peran suatu tokoh tertentu yang dilakoni. Dengan demikian topeng digunakan sebagai media yang menghadirkan pribadi seseorang dihadapan penonton. Dalam perkembangan selanjutnya “persona” tidak dilihat lagi sebagai sebuah topeng, melainkan kualitas pribadi yang ada dalam dirinya. Dengan demikian makna sesungguhnya dari persona adalah jati diri. Dalam butir sebelumnya sudah disinggung bahwa sebagai individu Manusia adalah makluk yang utuh. Dengan pengertian seperti ini individualitas seseorang tidak terpisah dari persona. Dengan kata lain persona dan individualitas mengandung makna yang sama, yakni keutuhan. Nilai-Nilai Absolut dan Elemen-Elemen Persona Esensi Manusia sebagai pribadi menyangkut empat hal mendasar, yakni kesadaran akan diri, bersifat otonom dan transendental serta kamunikatif. Sebagai pribadi Manusia memilki kesadaran akan eksistensi dirinya sendiri. Kesadaran ini bersumber dari kerohanian. Dengan kesadaran menusia mampu mempertimbangkan setiap kualitas tindakannya. Dengan kesadaran Manusia mampu mengenal siapa dirinya dan orang-orang yang ada disekitarnya serta perannya dalam membangun dunia. Dengan kesadara pula Manusia mampu secara otonomi melakukan sesuatu yang berguna bagi kemajuan dirinya dan dunianya serta mampu bertanggung jawab dalam setiap tindakannya. Transendensi diri sebagai pribadi yang memampukan Manusia untuk mengatasi ruang dan waktu. Dan hakikat diri ini bersumber dari kesadaran. Sifat transendental merupakan modal bagi Manusia untuk mengatasi persoalan-persoalan hidup serta memungkinkannya masuk dalam dunia abadi atu absolut, yakni kehidupan religius. Dengan demikian transendensi diri merupakan perwujudan dari partisipasi Manusia dalam keilahian Sang Pencipta. Melalui komunikasi, setiap pribadi sadar bahwa ia merupakan bagian dari orang. Ia menyadari bahwa kehadirannya bermakna berkat kehadiran orang lain dan karena berpartisipasi dalam pengakuan eksistensi orang lain. Ia sadar bahwa dalam hubungan dengan orang lain ada cinta di samping kebencian, ada persahabatan di sisi permusuhan, ada kepedulian di samping keacuhan. Jadi, nilai-nilai absolut personalitas terungkap dalam empat hal mendasar ini, yakni, kesadaran diri, otonimi, memiliki transendensi diri dan mampu berkomunikasi. Semua ini merupak nilai universal yang ada dalam setiap Manusia sebagai pribadi. Pribadi Manusia bukan konsep yang abstrak. Ia adalah makluk yang konkret. Sifat konkret ini terungkap dalam berbagai elemen yang ada dalam dirinya. Ada enam elemen mendasar yang mengungkapkan pribadi seseorang. Pertama adalah karakter yang adalah habitus hasil produk dari lingkungan tempat seseoran tinggal. Kedua adalah akal budi. Akal budi merupakan elemen personal yang paling hakiki. Sebab ini adalah inti perbedaan Manusia dari makluk lain. Ketiga adalah kebebasan, wacana mengenai kebebasan bersifat personal karena yang dapat menentukan diri seseorang adalah dirinya sendiri bukan orang lain. Keempat, nama adalah identitas pribadi seseorang yang mampu membedakannya dari pribadi yang lain. Kelima, suara hati, suara hati bersifat personal karena tidak seorang pun yang mengetahui kedalaman suara hati seseorang. Suara hati merupakan pedoman bagi seseorang untuk menentukan perilaku hidupnya. Jika akal budi memampukan Manusia untuk mencari kebenaran maka suara hati mengambil peran etis dalam menentukan mana yang baik dan buruk dalam tindakan. Keenam, perasaan. Merupakan ungkapan lubuk hati yang paling dalam dari setiap pribadi. Karena perasaan terkait dengan pribadi, maka menghargai perasaan seseorang juga berarti menghargai harkat dan martabatnya sebagai Manusia. Sebuah Refleksi Jean P. Sartre. “Eksistensi lahir dari tatapan mata orang lain” Pandang Sartre ini memang sangat mendalam dan ada kalanya benar. Bahwa terkadang cara orang lain memandang kita dapat menentukan eksistensi kita di sekitarnya. Kalau seandainya kita rupawan keberadaan kita tentu akan menjadi sorotan banyak orang, dengan sendiri tanpa kita sadara kita menjadi sentral perhatian. Begitu pun sebaliknya kalau orang itu terlihat tidak terurus orang lain cenderung untuk menghindar bahkan tidak mempedulikan keberadaannya. Kesetaraan dalam sebuah hubungan bersosial merupakan inti, roh dan jiwa. Karena dengan begitu setiap orang mampu mencapai apa yang disebut Sartre sebagai etre pour autrui-ada untuk yang lain. Jadi di sini terkandung sebuah makna bahwa Manusia mesti mempunyai pandangan kalau Manusia lain adalah dirinya yang lain. Dengan memandang orang lain sebagai dirinya yang lain, Manusia dengan sendirinya telah membentuk satu dunia yang menghargai keutuhan setiap pribadi sebagai sesuatu yang sama dan sederajat walaupun berbeda dalam hal fisik tetapi derajat dan martabatnya tetap sama. Dalam pola hubungan dengan sesama Manusia dalam suatu masyarakat, setiap orang perlu untuk menerima dan memberi, itulah kehidupan yang sejati semisalnya matahari yang memberi pengaruh bagi pertumbuhan tanaman untuk proses fotosintesisnya. Suatu kesetaraan dan keutuhan dalam eksistensi Manusia sebagai makluk individu dan sosial bukan dicapai melalui suatu usaha yang besar tetapi cukup dengan melakukan kepada sesama apa yang kita ingin dilakukannya pula bagi kita atau dengan bahasa kitab suci “ apa yang kau kehendaki supaya orang perbuat bagimu, maka perbuatlah demikian.” (*)