Tak Ada Habisnya Ngobrol Tentang Kopi Arabika Bajawa Namun UPH Resah dan Gelisah, Mengapa?

- Kamis, 19 Januari 2023 | 06:43 WIB
Kopi Arabika Bajawa yang sedang dibersihkan usai dipanen. (John Lobo - Penyuka kopi)
Kopi Arabika Bajawa yang sedang dibersihkan usai dipanen. (John Lobo - Penyuka kopi)

SUDUT PANDANG, suluhdesa.com | Ngobrol tentang kopi Arabika Bajawa mungkin tak ada habisnya. Ada tiga hal yang menjadikannya istimewa di benak para kopimania yakni orisinalitas, keunikan, dan cita rasa yang berkualitas.

Orisinalitas artinya pohon kopi yang ada merupakan hasil budi daya secara alami sejak dahulu dan perawatannya berbasis lingkungan secara berkelanjutan. Unik artinya Iklim mikro lokal membuat biji kopi Bajawa memiliki cita rasa khas yang berbeda dengan kopi dari daerah lain.

Bicara iklim ada empat faktor yang sangat mempengaruhi yakni tingginya tempat budidaya kopi dari permukaan laut, curah hujan di daerah tersebut, dan suhu udara yang mendukung.

Berkualitas merujuk pada sintak pengelolaan yang dilakukan dengan teliti dan standard tinggi untuk menghasilkan kopi berkualitas specialty. Berkelasnya kopi Arabika Flores dari Bajawa itu ada ceritanya, mulai dari asal hingga muara. Singkatnya 60% ditentukan di kebun, 30% di proses roasting, dan hanya 10% ditentukan kemampuan barista.

Baca Juga: Pimpinan Bank NTT Habiskan Dana Perjalanan Dinas Tahun 2022 Rp 17,4 M Diduga Untuk Foya-Foya

Daerah penghasil kopi Arabika Bajawa tersebar di beberapa kecamatan yakni Kecamatan Bajawa, Golewa, dan Golewa Barat. Petani yang terlibat dalam pengelolaan kopi di daerah tersebut disebut Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG).

Kopi Bajawa.
Kopi Bajawa. (John Lobo - Penyuka kopi)

Jumlahnya sekitar 1.080 bahkan masih ada lagi 12.000-an petani kopi di tiga wilayah Indikasi Geografis yang belum diorganisir dengan baik dalam wadah petani kopi. Kabar terkini, jumlah MPIG di tiga kecamatan tempat budidaya kopi semakin berkurang.

Luas lahan yang digunakan untuk budidaya kopi Arabika sekitar 11. 000 hektar. Jumlah tersebut semakin berkurang dan saat ini menjadi 4.000 hektar.

Menyusutnya luas lahan dan berkurangnya masyarakat MPIG disinyalir karena terjadinya alih fungsi lahan yaitu perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (kopi) menjadi fungsi lain yang membawa dampak tidak menguntungkan seperti hortikultura dan tanaman pangan lainnya.

Kopi Arabika Bajawa dalam kemasan.
Kopi Arabika Bajawa dalam kemasan. (John Lobo - Penyuka kopi)

Dua problem dasar tersebut sangat berpengaruh pada volume kopi yang bakal diolah pada Unit Pengelola Hasil (UPH) setempat. Secara real jumlah UPH yang ada di tiga wilayah Indikasi Geografis (IG) yakni Kecamatan Bajawa, Golewa, dan Golewa Barat ada 8 UPH,. Setiap UPH memiliki sub - sub pengolahan, kalau dihitung bisa mencapai 50 sub UPH.

Kegundahan yang dialami oleh MPIG dan UPH tersebut semakin meningkat terkait hadirnya salah satu pabrik pengolahan kopi yang proses peletakan batu pertamanya dilakukan beberapa hari lalu oleh pejabat setempat. Mereka resah dan gelisah terkait keberadaan pabrik yang bisa mengancam keberlangsungan Unit Pengelola Hasil (UPH) besar maupun yang berskala kecil atau sub dari UPH.

Banyak pertanyaan berseliweran terkait kehadiran pabrik pengolahan kopi tersebar antara lain ; apakah sudah ada kesepakatan antara pemerintah, UPH, dan petani kopi? Apakah kehadiran pabrik pengolahan kopi dapat meningkatkan kesejahteraan UPH dan petani kopi? Apakah kopi yang ada di Ngada mampu menyuplai kebutuhan pabrik? Bahkan ada pertanyaan menarik seperti ini "Memangnya kita tidak bisa olah kopi sendiri kah? Sekelas UMKM (UPH) saja stoknya selalu menipis koq bangun lagi pabrik, bisa saja semua kopi yang ada dia sapu bersih sampai akar - akarnya".

Halaman:

Editor: Frids Wawo Lado

Tags

Terkini

Membaca Kontestasi Dapil 1 NTT Menuju Senayan 2024

Selasa, 21 Maret 2023 | 21:54 WIB

Membaca Estetika Lingkungan di Kota Kupang

Minggu, 12 Maret 2023 | 13:05 WIB
X