"Orang-orang yang duduk di institusi terhormat Ende diduga kuat mencuri uang rakyat (bahkan ada yang diduga kedapatan mencuri berulang-ulang) dalam kasus gratifikasi PDAM Ende (Heri Wadhi, Fransiskus Taso, Jhon Pella, Muhamad Orba K. Ima, Sabri Indra Dewa, Emanuel Erikos Rede, Oktavianus Moa Mesi, dan Kadir Mosa Basa), kasus temuan Inspektorat terkait peminjaman uang dana Setwan 2020) oleh pimpinan dan anggota DPRD (Fransiskus Taso, Tibertius Didimus Toki, Emanuel Erikos Rede, Yulius Cesar Nonga, Yohanes Don Bosco Rega dan Muhamad Orba K. Ima) dan terakhir kasus dugaan korupsi dana hibah KONI Ende (Fransiskus Taso, Sabri Indra Dewa, Yulius Nong Cesar). Nama-nama ini sudah sangat melegenda dalam kasus-kasus dugaan korupsi di Kabupaten Ende. Kita sebut terus menerus nama-nama ini agar rakyat tidak pernah boleh lupa. Nama-nama ini kalau turun ke tengah rakyat doyan berbohong kepada rakyat yang minim informasi tentang sepak terjang mereka dalam kasus-kasus korupsi."
Oleh: Steph Tupeng Witin, Penulis Buku “Politik Dusta di Bilik Kuasa” (JPIC OFM 2019)
suluhdesa.com | Dalam literatur ilmu administrasi publik, pola hubungan antara politik dan birokrasi sudah lama berkembang dalam sebuah sistem pemerintahan. Melihat konteks sejarahnya, ilmu administrasi publik lahir dan mendapat pengakuan dari para scientist berkat tulisan Woodrow Wilson berjudul “The Study of Administration” yang dimuat pertama kali di The Journal Political Science Quarterly tahun 1887. Intinya, diperlukan suatu ilmu untuk mengkaji masalah administrasi dan membantu menerjemahkan kebijakan-kebijakan politik ke dalam ruang birokrasi agar diimplementasikan dalam ranah kebijakan pembangunan bagi rakyat (Yudiatmaja, 2015).
Wilson berpendapat bahwa politik dan administrasi harus dipisah karena keduanya memiliki tugas yang berbeda. Pemisahan antara politik dan administrasi dimaksudkan agar birokrasi pemerintahan dapat bekerja secara profesional untuk melayani kepentingan umum (public interest) tanpa dibebani dengan isu-isu politik yang lebih berorientasi instan dan tidak setia berproses daam waktu dan kinerja.
Politik yang digambarkan tersebut kemudian hadir melalui partai politik. Hubungan partai politik dan proses penyelenggaraan administrasi publik dalam sistem birokrasi pemerintahan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Namun keduanya dapat dibedakan melalui peran dan sistemnya. Sejak reformasi bergulir, ciri dari suatu pemerintahan yang demokratis ditandai dengan eksistensi Parpol. Sejak itu pula, banyak jabatan dalam birokrasi pemerintahan dipimpin oleh pejabat dari partai politik. Dan sejak itu pula, di dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan dikenal dengan istilah jabatan politik (Miftah Thoha, 2014).
Selain itu, dalam birokrasi pemerintah dikenal pula dengan jabatan karier birokrasi yang biasa disebut para birokrat atau pejabat birokrasi yang meniti kariernya dalam sistem birokrasi yang berangkat dari jabatan karier terendah di tingkat awal sampai ke tingkat jabatan tertinggi (mulai dari eselon IV b - eselon IV a - eselon III b - eselon III a - eselon II b dan eselon II a). Pejabat karier dalam hal ini diangkat dalam jabatan birokrasi oleh pejabat tinggi/PPK yang berwenang mengangkatnya.
Sementara itu jabatan politik adalah pejabat yang dipilih oleh rakyat atau diangkat oleh pejabat politik yang dipilih oleh rakyat. Jabatan politik ini, ada masa jabatannya, yakni dibatasi oleh masa jabatan berdasarkan pemilihan (umum atau kepala daerah), biasanya lima tahun sekali (DPD, MPR, DPR RI, DPRD Prop, DPRD Kab/Kota, Presiden/Wapres, Gubernur/Wagub, Bupati/Wabup/Walikota/Wakil Walikota).
Pertanyaan kemudian yang menggelitik adalah, apakah intervensi politik melalui jabatan politik (Bupati) yang memimpin jabatan karier birokrasi diperbolehkan dalam tatanan kepemerintahan yang bersih, berwibawa, baik dan demokratis? Bolehkah pejabat politik (Bupati) memindah, mengganti dan memberhentikan pejabat jabatan karier birokrasi pemerintah sesuka hati atau secara like or dislike?
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) mengenal sistem merit yang didefinisikan sebagai kebijakan dan manajemen ASN yang berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi dan kinerja yang diberlakukan secara adil dan wajar dengan tanpa diskriminasi. Maka merit system bisa dikatakan sebagai pengelolaan SDM pegawai ASN yang didasarkan pada prestasi (merit) yaitu segenap perilaku kerja pegawai dalam wujudnya dikategorikan sebagai baik atau buruk, hal mana berpengaruh langsung pada naik atau turunnya penghasilan dan/atau karier jabatan pegawai.
Fokus utama merit system adalah dalam rangka perbaikan atau peningkatan prestasi kerja (Woodard, 2005). Jika prestasi kerja tergolong baik maka pegawai ASN akan diberikan penghargaan (reward) berupa kenaikan penghasilan dan/atau karier jabatan. Sedangkan jika prestasi kerja pegawai ASN tergolong buruk maka akan menerima hukuman (punishment) berupa penurunan penghasilan dan/atau karir jabatan.
Tujuan dari merit system adalah merekrut ASN yang profesional dan berintegritas dan menempatkan mereka pada jabatan-jabatan birokrasi pemerintah sesuai dengan kompetensinya, mengembangkan kemampuan dan kompetensi ASN, memberikan kepastian karier dan melindungi karier ASN dari intervensi politik dan tindakan kesewenang-wenangan, mengelola ASN secara efektif dan efisien dan memberikan penghargaan bagi ASN yang adil dan layak sesuai kinerja. Sedangkan manfaat merit system bagi ASN adalah dapat mengembangkan diri sesuai dengan kebutuhannya, melindungi karier ASN dari politisasi kebijakan politik yang bertentangan dengan sistem merit, meningkatkan motivasi ASN dan agar ASN memiliki jalur karir yang jelas.
Titik ini merupakan kondisi ideal normatif bagi pola pengembangan karier para pegawai ASN. Ketika masuk dalam tataran implementasi, ibarat langit dan bumi. Bahwa Bupati merupakan jabatan politik, iya. Tapi dalam kapasitasnya sebagai PPK yang juga sebagai elite eksekutif mestinya harus mempertimbangkan unsur profesionalisme yang didasarkan pada konsep merit system. Karena birokrasi pemerintahan bertugas menerjemahkan berbagai keputusan politik ke dalam berbagai kebijakan publik dan melakukan pengelolaan atas pelaksanaan berbagai kebijakan tersebut secara operasional, efektif dan efisisen.
Oleh sebab itu birokrasi pemerintahan merupakan faktor kunci atau penentu bagi keberhasilan agenda pemerintahan, termasuk dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih (clean government) dan tata kepemerintahan yang baik (good governance). Idealisme inilah yang mestinya menjadi kiblat perjuangan ASN dalam kinerjanya setiap saat di ruang birokrasi. Bilik-bilik di birokrasi kita mesti diisi oleh aparatus birokrasi yang memiliki kehendak kuat untuk mengembangkan karier lebih profesional dan mengabdikan diri sebagai pelayan yang berkualitas secara mumpuni, bukan pemegang jabatan tinggi hasil titipan dari elite politik yang haus jabatan. Intervensi politik dalam karier ASN akan memecah fokus kinerja dan mengacaukan profesionalisme aparat birokrasi sendiri. Kiblat pengabdian beralih ke politik yang akan menjadi gerbang kehancuran.
Artikel Terkait
Kelompok Cipayung Demo Tuntut Polres Ende Usut Tuntas Dugaan Korupsi Dana Hibah KONI Rp2,1 Miliar
Dugaan Korupsi Dana KONI Ende, Lemahnya Kepemimpinan Pemda Dan Bawahan Yang Lebih Banyak Wora
Pemkab Ende Akan Biayai Para Pastor Ke Tanah Suci, Konteks Birokrasi Tindakan Ini Dikategorikan Mencuri
Dugaan Korupsi Dana KONI Ende, Masyarakat Selalu Diberi Harapan Semu Oleh Penegak Hukum, Penyakit Kronis