KUPANG, suluhdesa.com | Ungkapan Nusa Tenggara Timur adalah Indonesia mini sangat tepat. Keberagaman budaya, adat istiadat, agama, keyakinan, bahasa dan sebagai ada di sini.
Maka ketika orang menyematkan NTT sebagai New Bali sebenarnya sematan itu tidak tepat bila kita merujuk pada keunikan NTT di atas.
Bali memiliki budaya yang homogen. Budaya dan tradisi Bali. Seni pertunjukan atau pergelaran budaya semata-mata budaya Bali.
Bahwa Bali kini menjadi pulau yang terbuka, itu soal lain akibat interaksi sosial dunia dan sebagai dampak dari pariwisata itu sendiri.
Bali adalah Bali. NTT adalah NTT. NTT dengan segala keunikannya baik tradisi, agama maupun alamnya.
Sebagai contoh, ketika obyek wisata alamiah Bali ‘habis’, para pelaku mulai mengembangkan obyek wisata buatan.
Satu sisi kita mengeksploitasi alam. Alam tidak sesuai dengan aslinya lagi. Tetapi NTT tidak demikian.
Jika anda mengilingi NTT, masih banyak alam kita masih perawan dalam arti belum tersentuh perbuatan tangan manusia.
Kita memang patut berbangga tetapi sekaligus kita tetap waspada. Perkembangan dunia yang tak terbendung, kealamiahan NTT bisa tergerus.
Untuk menjaga dan merawat NTT yang masih natural ini, kita perlu melibatkan segenap masyarakat terutama dimulai dari masyarakat desa.
Masyarakat desa yang memiliki hak ulayat atas tanah yang berpotensi menjadi obyek wisata.
Desa harus digerakan dan diarahkan untuk mengelola pariwisata sebagai potensi pendapatan desa.
Saat ini, pemerintah desa di NTT masih berkutat dengan persoalan administratif dan pelayanan masyarakat. Mereka belum melirik potensi di desanya sebagai sumber pendapatan mereka.
Desa Ulu Loga di Nagekeo dan Desa Detusoko Barat di Ende yang dikomandoi Nando Watu bisa menjadi role model. Inilah satu-satu desa yang memiliki visi pariwisata berorientasi masa mendatang.
Ketika kepala desa lain berkutat pada soal pelayanan normatif, Nando melangkah lebih maju dengan konsep Desa Wisata.
Artikel Terkait
Berwisata Tak Harus Keluar Kota, Kawasan Gedung Sasando Destinasi Alternatif Karena Alasan Ini