Toro Bembe, Bukit Yang Menawarkan Keheningan Super Premium di Pinggiran Kota Labuan Bajo

- Sabtu, 18 Februari 2023 | 15:33 WIB
Penulis di Bukit Toro Bembe Labuan Bajo Flores NTT (Dokpri)
Penulis di Bukit Toro Bembe Labuan Bajo Flores NTT (Dokpri)

PARIWISATA, suluhdesa.com | Toro Bembe mungkin nama yang asing bagi para penyuka alam. Bukit ini  kalah populer dari Bukit Sylvia. Padahal, keduanya berada pada semenanjung yang sama.

Popularitas Bukit Sylvia mungkin disebabkan kemudahan aksesnya, persis di simpang empat tak jauh Sylvia Resort. Simpang empat ini juga dikenal sebagai simpang empat Sylvia, kata Benny, sahabat saya.

Sebenarnya, di semenanjung ini memiliki beragam nama, ada Bukit Sylvia, Krangan, Toro Bembe dan lain sebagainya. Benny sendiri tak tahu semua nama bukit, tetapi ia sudah menjangkau semuanya baik seorang diri, bersama rekan-rekan sehobi maupun bersama keluarganya – istri dan anak-anaknya.

Saya sendiri baru tahu tempat ini, juga namanya, sekembali pertualangan dari Wae Wu’ul. Setiba di rumahnya, Benny berjanji akan antar saya ketempat menarik lainnya, yakni Toro Bembe, untuk menyaksikan matahari terbit.

Untuk mencapai bukit ini, kami melintas Simpang empat bukit Sylvia  menuju ke Krangan, kawasan tanah yang lagi viral dan menyeret sejumlah orang dalam persoalan hukum. Namun, di tikungan sebelum Krangen, kami berbelok ke arah kanan, melewati jalan tanah yang kondisinya tak semulus jalan raya Krangan.

Karena kami pergi pagi-pagi, suasana masih gelap tapi tak menyurut tekad kami. Benny, dengan piawai, menaklukan jalan dengan tunggangan besi, motor tril yang dikendalikannya, mampu menembus jalan berbatuan, dan dipenuhi semak belakar. Maklum, jalur jalan ini jarang dilewati orang kecuali para penyuka alam, fotografer, atau para calo dan pembeli tanah.

Anda tak perlu terkejut, bahwa tanah di kawasan ini sudah ada pemiliknya, tak ada sejengkal yang tersisa. Kita dapat lihat dari plang nama pada setiap kapling. Bahkan, bukit Toro Bembe sendiri sudah ada pemiliknya. Dan, yang membuka akses jalan ke puncak bukit ini adalah pemiliknya sendiri. Tentu, hanya orang-orang bermodal yang mampu menyewa alat berat untuk membuka jalur jalan ke Toro Bembe.

Asyiknya berkelana ke tempat ini, kita  melewati ruas jalan yang di kiri kanan penuh sabana serta pohon lontar yang tumbuh agak jarak antara satu dengan yang lainnya. Meskipun penuh semak jalur yang kami lalu, Benny mampu melampauinya. Dan, deru tril, membangunkan burung dan binatang lain yang lagi terlelap tidur.

Benny memarkir motor di permukaan tanah timbunan yang sudah diratakan. Timbunan ini berasal  tanah kerukan atau galian jalan menuju Toro Bembe. Dari titik ini, kami berjalan kaki lagi sejauh 300 meter, melewati sabana dan semak belukar liar. Tentu, kami sambil bercerita tentang alam sepanjang jalan dan tak  sadar kami sampai puncaknya.

Di atas Toro Bembe, kita dihadapkan laut Flores dan teluk yang sangat teduh serta arah datangnya sinar matahari. Di belakang arah kami memandang sang fajar, barisan bukit Samson yang dipenuh savana dan pohon lontar yang berdiri tegak. Selain itu, kami bisa melihat ke arah Labuanbajo dan kawasan konsverasi alam Wae Wuul yang agak samar-samar tapi masih bisa dikenali dengan bukit yang lancip. 

Manakala berada di atas bukit ini, saya menemukan kedamaian, melihat hamparan laut tanpa gelora, pandangi bukit yang hijau, sejuk dimata serta pesona sunrise, menyebakan langit kemerahan-kemerahan di batas antara ufuk. Suasana benar-benar teduh.

Siulan burung bersahutan, seolah menyapa kedatangan kami. Angin sepoi-sepoi berhembus, seolah menyeka peluh setelah kami berjalan sejauh 300 meter. Indah nian, pagi itu. Kata Beny, ia sudah lebih dari sekali ke tempat, selain bersama keluarganya, temannya, bahkan ia lakoni sendirian, ia menemukan keindahan alam yang menakjumkan dan syahdu.

Pengakuannya, ia begitu menikmati ketika berada di tempat ini. Kadang, ia datang tanpa membawa seperangkat kamera, benar-benar hanya raga, bekal serta rokok sebagai pemicu daya imajinasi. Ia benar-benar menikmatinya, hanya, memandang pada setiap perubahan alam, dari detik demi detik, dan, ia menemukan sesuatu di dalamnya.

Beny benar, kita dapat saja memotret setiap detik perubahan alam itu dengan kamera kita, tapi tak akan sama ketika kita merekam di memori kita melalui mata dan pikiran yang tercurah kepada pemandangan yang ada di depan mata kita.

Halaman:

Editor: Giorgio Babo Moggi

Tags

Artikel Terkait

Terkini

X