Penulis harus berkata jujur, rumah musiknya itu lebih tepat sebagai sebuah kandang. Bangunannya sangat-sangat sederhana. Tetapi, penulis menilai itulah gambaran sosok hidup seorang Daniel Watu. Bangunan tersebut menggambarkan dirinya yang jujur, apa adanya, atau tanpa polesan. Dan, rumah bambu adalah ruang ekspresi yang bebas akan pemaknaan hidup seorang Daniel Watu melalui musik.
Oleh: Giorgio Babo Moggi
===============
PROFIL, suluhdesa.com | Totalitas Daniel Watu untuk musik bambu tak diragukan lagi. Hidupnya adalah musik bambu itu sendiri. Ini dapat dilihat dari kesehariannya hidupnya di Wolorowa, Kabupaten Ngada, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pada suatu kesempatan penulis berkunjung ke rumahnya untuk melihat rumah musiknya dari dekat. Rumah musik inilah yang menjadi monumen totalitas tersebut – bukti sang maestro sangat mencintai dan menekuni musik bambu. Penulis harus berkata jujur, rumah musiknya itu lebih tepat sebagai sebuah kandang. Bangunannya sangat-sangat sederhana. Tetapi, penulis menilai itulah gambaran sosok hidup seorang Daniel Watu. Bangunan tersebut menggambarkan dirinya yang jujur, apa adanya, atau tanpa polesan. Dan, rumah bambu adalah ruang ekspresi yang bebas akan pemaknaan hidup seorang Daniel Watu melalui musik. BACA JUGA:Roy Watu Nilai KPK Lambat Tangani Kasus Korupsi di NTT Kolaborasi : Kunci Membangun Pariwisata NTTRumah musik adalah wujud ketelanjangan jiwanya. Jiwanya yang tulus dalam berkarya pada dunia yang tak membuatnya kaya secara materil. Ia sungguh menjiwai musik sebagai ekspresi kekuatan jiwanya, sementara hal-hal fisik hanyalah pelengkap saja. Daniel Watu menggeluti dunia seni dengan memainkan rasa lebih dominan daripada pikiran. Rasa itu apa adanya. Gembira ya gembira. Sedih ya sedih. Tetapi, pikiran bisa dimanipulasi sedemikian rupa, menghitung untung – rugi dan sebagainya – tetapi Daniel Watu tidak mencari untung, malah pengorbanannya yang lebih banyak. Ia adalah sosok yang berjiwa rasa dan kecerdasan musikal tinggi. Kecerdasan musikal membuat dirinya layak mendapatkan sematan “maestro” pada namanya. Jika menyematkan namanya dengan guru, lantas orang akan bertanya apa pendidikannya? Tetapi dengan menyebutnya maestro telah melampaui semua strata pendidikan dan gelar karena keilmuan atau pengetahuannya terlepas dengan cara apa atau bagaimana ia memperoleh pengetahuan tersebut (entah jalur formal, informal atau otodidak). Lebih dari itu, Daniel Watu layak menyandang gelar maestro karena karya daya ciptanya - rumah musiknya adalah tempat risetnya. Soal pengakuan atau apresiasi apalagi penghargaan bukan tujuannya. Kepentingan Daniel adalah musik bambu sebagai peradaban musikalitas Ngada terus diwarisi ke generasi Ngada. Daniel Watu dalam pelbagai kesempatan, penulis mewawancarainya di Liliba, ia mengungkapkan kegelisahan akan punahnya musik bambu. Musik telah menjadikannya hidupnya dan hidupnya adalah musik. Itu sebabnya, ia akan bersemangat dan bangkit dari tempat duduk jika topik diskusi mengarah ke dunia musik apalagi musik bambu. Kegelisahan Daniel menular generasi muda Ngada, Endra Djawa Nai, dan dosen Undana, Doktor Karolus Budiman Jama. Dua orang ini berlatarbelakang pendidikan mumpuni. Pantaskah mereka berguru pada Daniel Watu yang hanya tamatan Sekolah Rakyat? Jawabannya, pantas. Jika tidak pantas, mengapa mereka merelakan waktu dan tenaga untuk mengkonstruksi jejak Daniel Watu secara digital? Dari kolaborasi ini mengajarkan kita bahwa pendidikan sejatinya tak menarik batas antar manusia. Ilmu sejatinya memantik, menarik, menginspirasi dan mendorong orang untuk berkolaborasi (kerja sama, share ilmu, berbagi). Daniel Watu mampu membuka sekat-sekat pembatas demi terciptanya kolaborasi tersebut. Ia adalah sosok yang cerdas, terbuka dan mau berbagi kepada siapa saja yang merupakan nilai-nilai keuatamaannya. Penulis pun turut merasakannya. Tindak lanjut dari kolaborasi tersebut, Doktor Karolus Budiman Jama dan Hendra Djawa Nai menggandeng Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, untuk melakukan dokumentasi karya Maestro Foi Doa, 4 - 24 Oktober 2021 di kediamannya, Wolorowa, Ngada. “Kekayaan dan keindahan alam serta budaya seni di Kampung Wolorowa ini menginspirasi Bapak Daniel Watu untuk berkarya dan mengembangkan Musik Foi Doa. Meskipun di tengah kuatnya arus musik populer, Bapak Daniel Watu tetap mengembangkan dan melestarikan Foi Doa. Malah ditengah hiruk pikuk musik populer, beliau semakin inovatif agar Foi Doa mengikuti perkembangan zaman,” tulis Doktor Karolus dan kawan-kawan yang dikirim kepada penulis. Doktor Karolus dan Endra telah meretas jalan menuju Wolorowa untuk “memindahkan” karya sang maestro ke ruang digital. Dari kerja cerdas kaum intelektual ini, kiranya Foi Doa diharapkan menjadi ikon musik etnik Ngada, dan kecintaan Daniel Watu terhadap alat musik tiup bambu akan melahirkan Daniel-Daniel lain dari generasi penerus etnik Ngada. Dan, yang tak kalah pentingnya, Foi Doa segera masuk dalam perlindungan HAKI dan Daniel Watu layak memiliki hak paten atas inovasi Foi Doa. (*)