Ujian Doktoral di Depan Delapan Penguji, Patris Kami Kupas ‘Keda Kanga’

- Rabu, 19 Januari 2022 | 14:55 WIB
SULUH DESA
SULUH DESA

KUPANG, suluhdesa.com | Patrisius Kami, salah satu Mahasiswa asal Provinsi Nusa Tenggara Timur yang melakukan studi pada Program Studi Linguistik Program Doktor Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana, Bali telah selesai menyelesaikan ujian Disertasinya secara tertutup di hadapan delapan penguji. Patris berhasil menjawab seluruh pertanyaan tim penguji dengan sangat bagus sehingga dipromosikan untuk mengikuti ujian secara terbuka guna meraih gelar Doktor. Hal ini disampaikan Patris Kami saat dihubungi Media SULUH DESA, Senin (16/08/2021) siang melalui telepon seluler. Patris yang kini sedang berada di Denpasar mengungkapkan bahwa, dirinya telah menyelesaikan kuliah S3 dan telah melewati tahap ujian Disertasi secara tertutup pada Kamis (05/08/2021). “Ini semua berkat dukungan banyak pihak sehingga saya dapat selesai. Selanjutnya saya akan melaksanakan ujian secara terbuka untuk memperoleh gelar Doktor. Saya bersyukur Tuhan menyertai proses kuliah saya yang penuh tantangan ini,” ungkap Magister Humaniora ini. Dirinya menjelaskan bahwa, di hadapan delapan penguji ia berhasil mengupas dan mempertahankan Disertasinya yang berjudul Ekoleksikon Ritual Keda Kanga Pada Guyub Tutur Bahasa Lio-Ende Flores. Para pengujinya adalah Prof. Dr. Ketut Artawa, M.A, Prof. Dr.Drs I Wayan Simpen,M.Hum, Prof. Dr. Drs. I B Putra Yadnya, M.A, Prof. Dr. I Ketut Darma Laksana, M.Hum, Prof. Dr. Made Budiarsa, M.A, Prof. Dr. Ketut Artawa., M.A, Prof. Dr. I Nengah Sudipa, M.A, Prof. Dr. I Nyoman Kardana, M.Hum, dan Dr. Putu  Sutama, M.S. Penelitian untuk Disertasinya ini dilakukan di enam kampung adat di wilayah Ende-Lio, yakni di Wolokota, Wolotopo, Detusoko, Nua Ngenda, Kuru Liwu, dan Nua One. Menurut Patris, penelitian ini menelaah ekoleksikon ritual Keda Kanga ‘rumah adat pada guyub tutur bahasa Lio-Ende Flores. Secara sepesifik penelitian ini menjawab tiga pertanyaan pokok, (1) Bagaimanakah konstruksi leksikon pada ritual Keda Kanga sebagai tradisi pada guyub tutur bahasa Lio-Ende Flores?, (2) Khazanah leksikon apa sajakah yang hadir pada saat ritual pembangunan Keda Kanga sebagai representasi budaya dan kekayaan bahasa Lio?, dan (3) Makna-makna apa sajakah yang terkandung pada ritual Keda Kanga pada guyub tutur bahasa Lio-Ende Flores? Kontribusi rasional penelitian ini adalah dapat memberikan pemahaman yang lebih baik tentang eksistensi ritual Keda Kanga sebagai identitas, kebesaran dan kewibawaan guyub tutur bahasa Lio-Ende Flores. “Untuk memecahkan ketiga masalah pokok tersebut, penelitian ini menggunakan landasan teori ekolinguistik dan juga teori pendukung pemecahan masalah, misalnya, teori ekolinguistik dialektikal dan teori praksis sosial. Metode yang digunakan adalah metode observasi partisipan, sedangkan teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara, mencatat dan merekam. Data-data tuturan yang diperoleh dianalisis dari sudut domain, taksnonomik, dan komponensial. Hasil penelitian ini berkontribusi pada dua hal: taksonomi dan teoritis,” jelasnya. Selanjutnya dia menjelaskan, secara taksonomi teks ritual Keda Kanga yang diproduksi dalam setiap tahap pembangunan Keda Kanga  sangat dialogis dan kontekstual ekologis. BACA JUGA:
Terpilihnya Erik Rede Sebagai Wabup Ende, Dr. Patris Kami: Sesat dalam Berpikir Permintaan Kajari Ende Supaya Erik Rede Minta Maaf Itu Jebakan
Secara teoretis, pada dasarnya teks-teks ritual itu tidak berdiri sendiri, walaupun teks-teks tersebut terlihat  monolog-dramatik tetapi sesungguhnya teks-teks tersebut sangat dialogis kontekstual. “Hasil penelitian memperlihatkan beberapa aspek misalnya, konstruksi butir-butir leksikon dalam teks ritual Keda Kanga menunjukkan adanya khazanah leksikon berkategori nomina, verba, adjektiva, adverbial dan numeralia. Dilihat dari aspek leksikalisasi, pendayagunaan kosakata dalam ritual Keda Kanga memanfaatan bentuk-bentuk yang bersinonim, antonym, dan hiponym. Aspek gramatikal, adanya kehadiran makna referensial pronominal sebagai petunjuk kehadiran diri dalam realitas sosial budaya,” tegas pria yang lahir di Wolokota, Ende 03 Juli 1985 silam. Ungkapan dalam teks ritual Keda Kanga memiliki gaya bahasa khas, yang menunjukan adanya karakter berpikir pada GTBLEF. Secara ekologis, butir-butir leksikon ritual Keda Kanga memiiki hubungan secara interrelasi, interaksi dan interdependensi. Khazanah leksikon yang terekam dalam ritual Keda Kanga berupa khazanah leksikon flora, fauna, dan khazanah leksikon nama, dan struktur Keda Kanga. Makna-makna yang terkandung dalam ritual Keda Kanga  secara ekotekstualitas dimaknai berdasarkan dimensi ideologis, sosiologis, dan biolologis. Sumber makna yang terekam dalam ekotekstualitas ritual Keda Kanga yaitu, makna spiritual; makna yang menyatakan hubungan dengan kekuasaan Wujud Tertinggi dan juga wujud lain dalam keyakinan orang Lio yang disebut nitu pa’i, makna sosiologis; makna kebersamaan dan kekeluargaan; pengharapan akan kesehatan dan keselamatan; pengharapan akan keberhasilan dalam keluarga, dan makna sejarah (historis) yang menggambarkan proses pewarisan budaya dan warisan ekologis. Dalam penelitiannya, Patris Kami menuliskan bahwa, bahasa Lio-Ende Flores sebagaimana layaknya bahasa daerah lainnya di Indonesia, memiliki keanekaragaman budaya, tradisi, adat, dan bahasa lokal yang menunjukkan sistem dan perilaku berpikir, baik secara sosioekologis maupun sosiokultural. Banyak elemen budaya, adat, dan tradisi Lio Ende beradaptasi untuk diberdayakan dan dimanfaatkan, meski secara faktual dan fungsional, sendi-sendi kebudayaan lokal itu meunjukan gejala keterpojokan bahkan bergeser nilai-nilai keetnikan. Sebagian di antara kekuatan kebudayaan warisan leluhur itu memang masih terekam kuat dalam memori dan pola hidup generasi tua. Akan tetapi, dinamika kehidupan nasional dan global mulai menggusur, meminggirkan, dan mengancam kebermaknaan, keberlanjutan, dan kelestarian sebagaimana tampak pada perubahan prinsip, pola, dan gaya hidup generasi muda Lio-Ende bahkan Indonesia umumnya. Melihat fenomena dan dinamika kehidupan masyarakat Lio-Ende yang kian hari terus berubah akibat perkembangan zaman, penelitian terhadap ritual Keda Kanga ‘rumah adat’ ini sangat diperlukan, sehingga eksistensi dan kewibawaan secara sosial budaya tetap dipertahkan dan dijunjungtinggikan, sebagai entitas dan identitas yang mengandung makna dan nilai-nilai kehidupan, baik secara sosioekologis maupun secara fisikalekologis. Dengan pengertin lain, bahwa lingkungan hidup masyarakat Lio-Ende sejatinya telah menjadi sumber daya imajinasi, inspirasi, dan kreasi dalam membangun tradisi, adat, dan elemen-elemen budaya lokal, dan itu diharapkan tetap dipertahankan dan diwariskan, karena Keda Kanga tidak sekedar simbok estetikvisual saja, namun  sebagai simbol identitas, kebesaran, keperkasaan, dan kewibawaan bagi masyarakat Lio-Ende bahkan Kabupaten Ende pada umumnya. Proses ritual Keda Kanga merupakan bagian dari bahasa dan lingkungan, sebagai bentuk bangunanan bahasa yang menggambarkan hasil leksikalisasi, gramatikalisasi, tekstualisasi, kontekstualisasi dan kulturalisasi berbasis keberagaman yang ada di lingkungan. Di sisi lain, ritual Keda Kanga juga sebagai wujud dari lingkungan bahasa yang membatasi ruang hidup yang ragawi (fisik) dan rohani (kultural) yang menggambarkan pentingnya eksistensi berkarakter, berbudaya dan beradab, seperti yang pandangan Fowler dan Kress (Zainuddin, 2013) menyatakan bahwa semua bahasa diwujudkan dalam ideologi. Fenomena dan inetrraksi dalam konteks ritual Keda Kanga, pada guyub tutur bahasa Lio-Ende pada akhir-akhir ini, berpotensi dan berdampak pada berbagai ruang kehidupan manusia, dan lingkungan kehidupan masyarakat yang dijumpai tanpa melibatkan seluruh pancaindra dan perasaan, untuk memaknai realitas keadatan sebagai patron dan norma kehidupan. Kenyataan inilah yang dicoba untuk diungkap dalam penelitian ini melalui keberadaan leksikon bahasa Lio-Ende dalam lingkungan adat Keda Kanga dengan perspektif ekolinguistik, dengan mengkaji hubungan timbal balik bahasa dan ekologi (lingkungan ragawi dan sosial budaya) sebagai representasi leksikon-leksikon kehidupan pada guyub tutur bahasa Lio-Ende. Penelitian ekoleksikon ritual Keda Kanga pada Guyub Tutur Bahasa Lio-Ende Flores yang disingkat GTBLEF, didasari atas kerisauan terhadap realitas akibat dampak perubahan iklim dan cara pandang yang terjadi saat ini, bahwa  pola pikir dan sistem berkehidupan oleh masyarakat pada umumnya, khususya GTBLEF yang kian tergerus oleh era kemoderenan mulai menunjukkan keangkuhan berinetrraksi yang sangat massif terhadap sosiobudaya dan sioekologis, sehingga perlu ditanggapi serius oleh semua generasi pemakainya sebagai bagian dari entitas dan identitas kelingkungannya. Ketidakpedulian terhadap bentuk khazanah serta perubahan-perubahan kegiatan keadatan kian mengancam sistem dan tatanan nilai kehidupan yang kaya akan sumber daya karakter, nilai, dan filosofis ragawi secara total dalam kehidupan nyata. Dengan merujuk pada beberapa kerangka pandang yang diulas di atas sebagai latar pikir, maka tujuan penelitaian ini adalah mendeskripsikan tingkat pengetahuan leksikon dan ujaran-ujaran bahasa dalam lingkungan Keda Kanga pada guyub tutur bahasa Lio-Ende, yang perlu diartikan dan dilandasi dengan perasaan, dengan sentuhan, dengan penciuman, dengan pendengaran, dan dengan intuisi seluruh generasi pemilik Keda Kanga, sehingga lingkungan dan GTBLEF dalam khazanah leksikon kelingkungannya tidak kehilangan nilai estetis, etis, spiritual, dan kualitas, jiwa dan roh-roh kehidupannya. Sesuai dasar filosofis, kerangka konseptual, dan latar rasionalitas secara singkat dipaparkan pada latar belakang di atas, khususnya dalam perspektif pembangunan di bidang pendidikan dan kebudayaan yang lebih partisipatif dan tetap menjamin keberlanjutannya, berikut rumusan masalah yang menjadi fokus kaji-tindak (action research) ini. (1) Bagaimanakah konstruksi leksikon pada ritual Keda Kanga ‘rumah adat’ sebagai tradisi pada guyub tutur bahasa Lio-Ende Flores?; (2) Khazanah leksikon apa sajakah yang hadir saat ritual pembangunan Keda Kanga ‘rumah adat’ sebagai representasi budaya dan kekayaan bahasa Lio?, dan (3) Makna-makna apa sajakah yang terkandung dalam ritual Keda Kanga ‘rumah adat’ pada guyub tutur bahasa Lio-Ende Flores?. Patris menyampaikan, penelitian ini memiliki dua tujuan. Kedua tujuan dimaksud adalah tujuan umum dan tujuan khusus. Secara umum, penelitian ini diharapkan dapat mempengaruhi masyarakat Lio-Ende untuk mampu menggali, mengingat dan memberdayakan kembali sumber daya bahasa dan budaya masyarakat adat Lio-Ende, yang sudah sejak dahulu ada sebagai representasi nilai dan makna secara adicita (ideologi). Penggalian pengetahuan dan pengalaman generasi tua tentang masyarakat adat Lio-Ende dalam konteks ritual Keda Kanga ‘rumah adat’ merupakan salah satu langkah agar generasi muda dapat mengenal dan memperkokoh khazanah budaya lokal di tengah gempuran budaya global, khususnya leksikon yang berkaitan dengan masyarakat adat Lio-Ende, melalui bahasa ritual Keda Kanga ‘rumah adat’. Salah satu langkah yang ditempuh adalah melalui bahasa yang diajarkan pada pembelajaran berbasis lingkungan sekolah dengan mengonstruksi dan merancang Model Pendampingan dan Pemberdayaan Terpadu aneka khazanah: leksikon, ungkapan, teks, tradisi, dan sejumlah elemen budaya Lio-Ende secara teratur dan berkelanjutan demi kebertahanan, kelestarian, dan keutuhan lingkungan sosial budaya serta kesejahteraan masyarakat, untuk kemajuan di bidang industri dan pariwisata berbasis masyarakat dan lingkungan. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk menginventarisasi dan mendeskripsikan bentuk bentuk leksikon, ungkapan-ungkapan dalam teks ritual Keda Kanga pada guyub tutur bahasa Lio-Ende Flores. Disamping menemukan fakta dan informasi tentang, kondisi, daya hidup, pergeseran, perubahan, penyusutan fungsi sosial-kultural-ekologis berdasarkan khazanah leksikon secara verbal dan norverbal dalam konteks ritual Keda Kanga ‘rumah adat’ pada guyub tutur bahasa Lio-Ende Flores. Penelitian ini dapat berkontribusi positif, baik secara teoretis maupun praktis bagi disiplin ilmu kebahasaan dan masyarakat. Secara teoretis, hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk mengembangkan konsep-konsep kelinguistikan berbasis lingkungan, lebih khusus bahasa lingkungan dan lingkungan bahasa yang dibingkai dengan teori ekolinguistik sebagai teori utama dalam penelitian ekoleksikon ritual Keda Kanga ‘rumah adat’ pada guyub tutur bahasa Lio-Ende Flores. Penelitian ini tergolong penelitian terapan dalam arti dapat dijadikan dasar perumusan kebijakan dan tindakan nyata untuk memecahkan masalah sosioekologis dalam konteks kebudayaan. Sebagai penelitian terapan, pemecahan sejumlah masalah praktis di lapangan diupayakan ditemukan dan dirumuskan, baik secara konseptual maupun secara operasional. Beberapa manfaat praktis diantaranya. Pertama, Data, fakta, dan informasi tentang leksikon, ujaran-ujaran dan perilaku ritual yang berwujud tradisi-tradisi adat, dan kearifan lokal masyarakat Lio-Ende bermanfaat bagi pendidikan bahasa berbasis lingkungan lokal.  Semuanya itu adalah sumber daya lokal, modal budaya dan modal sosial tradisional yang dapat dikemas untuk dirujuk dalam upaya penggalian dan pemberdayaan sumber daya budaya pada lingkungan masyarakat Lio-Ende. Kedua, Data, fakta, dan informasi dengan kekayaan makna yang terkandung di dalam leksikon, ujaran-ujaran baik verbal maupun nonverbal, dalam konteks ritual Keda Kanga maupun ritual lainnya sebagai bagian dari adat istiadat, tradisi-tradisi, dan sejumlah elemen budaya yang potensial dan unik, sangat bermanfaat dalam pengembangan pendidikan formal, nonformal, dan informal terutama dalam konteks penumbuhan etos dan keterampilan kerja, pembentukan karakter dan penguatan jati diri orang Lio-Ende. Ketiga, Hasil penelitian ini bermanfaat pula dalam strategi dan upaya pengembangan kesadaran lingkungan hidup (ecoliteracy) dalam arti pentingnya keharmonisian hidup guyub tutur bahasa Lio-Ende, khususnya dan masyarakat di Kabupaten Ende umumnya. Keempat, Penelitian ini juga bermanfaat sebagai upaya untuk mempertahankan fungsi dan pemanfaatan Keda Kanga, proses ritualnya, pemanfaatan alat dan bahan alam, tuturan-tuturannya sehingga tetap menjadi simbol, identitas, kewibawaan masyarakat Lio-Ende, dan Kabupaten Ende pada umumnya yang syarat dengan nilai-nilaimakna-makna sosiologis dan sosial budaya. Kelima, Penelitian ini diharapkan bermanfaat secara khusus terutama bagi generasi muda yang belum cukup, bahkan sama sekali tidak mengetahui arti dan makna ritual Keda Kanga.  Keenam, Bagi masyarakat GTBLEF khususnya dan masyarakat Kabupaten Ende pada umumnya, penelitian ini bermanfaat sebagai warisan budaya di masa depan. Dengan kata lain, hasil penelitian ini merupakan sebuah upaya untuk menjaga kelestarian dan khazanah budaya masyarakat adat Lio-Ende, terutama tentang ritual  Keda Kanga. Hasil penelitiannya, Keda Kanga sebagai representasi  aktivitas budaya, memiliki peran sentral sebagai patron yang menunjukan simbol kebesaran dan kewibawaan bagi GTBLEF. Representasi kewibawaan itu tergambar pada setiap proses dan cara mendirikannya.  Keda Kanga Keda Kanga ‘rumah adat’ merupakan bangunan tradional yang dibangun berdasarkan falsafah adat, yakni  gagasan yang secara turun temurun diwariskan, sesuai dengan tatanan nilai dan makna-makna simbolis yang terkandung melalui setiap tahap dalam proses ritual. Gagasan itu lahir sebagai bentuk pola pikir masyarakat Lio-Ende secara tradisional mengarah pada hierarki sumber daya budaya, yang diterekam melalui peritiwa ritual, salah satunya ritual pembangunan Keda Kanga. GTBLEF pada umumnya, menganggap Keda Kanga ‘rumah adat’ sebagai cerminan hidup profan dengan Tuhan dan para Leluhur atau dalam sebutan Du’a gheta lulu wula Ngga’e ghale wena tana yang artinya Tuhan yang di surga dan di bumi, sehingga segala norma yang mengikatnya menjadi suatu kesepakatan bersama diwajibkan dalam ritual atau upacara adat. Setiap membangun Keda Kanga ‘rumah adat’ harus melalui proses secara matang, dalam artian harus melalui kesepakatan bersama seluruh Masyarakat, penyiapan bahan, dan yang paling penting yaitu meminta persetujuan, arahan serta perlindungan dari para Leluhur (roh nenek moyang) melalui ritual adat. Wujud Konstruksi Keda Kanga Pola permukiman dan bentuk Keda Kanga ‘rumah adat’  tradisional GTBLEF dibangun selalu berkaitan dengan konsep kekerabatan (Gemen Scap), antisipasi terhadap alam lingkungannya dan hubungannya dengan sang pencipta alam semesta yang dipercayainya. Hal ini dapat kita lihat pada saat upacara adat, proses pembangunan Keda Kanga ‘rumah adat’ dan perkampungan tradisional yang masih ada dan berlaku di masyarakat adat, termasuk acara seremonial lainnya yang masih ada sampai sekarang ini. Penelitian ini menghasilkan dua temuan yakni temuan empiris dan temuan teoretis. Secara empiris atau faktual mengacu pada leksikon dan teks ritual yang hadir pada saat ritual Keda Kanga.  Temuan teoretis mengacu pada fenomena pemakaian bahasa yang memperluas temuan para ahli sebelumnya. Keduanya diuraikan secara jelas berikut. Temuan Empiris Pertama, semua teks-teks ritual yang diujarkan dalam setiap tahap pembangunan Keda Kanga  sangat dialogis dan kontekstual ekologis. Setiap leksikon yang dihadirkan dalam teks-teks tersebut walaupun bersifat monolog tetapi tidak berdiri sendiri, dalam arti ada unsur dialogis dialektis yang heterogen antar penutur dan mitra tutur yang secara kontekstual selalu mengahadirkan leksikon ekologis berupa keyakinan, harapan, permohonan kepada wujud lain yang ikut hadir dan berperan dalam proses ritual Keda Kanga. Dengan demikian sebagai temuan empiris penulis merumuskan dengan satu frasa “ekotektualitas” dengan pengetian setiap teks-teks yang ddihadirkan pada ritual Keda Kanga  sangat kontekstual ekologis atau dengan pengetian lain Ekotekstualitas adalah ekologi yang muncul dalam teks-teks ritual yang kontekstua. Kedua, Dalam teks-teks ritual Keda Kanga yang diujarkan pada setiap tahap pembangunan Keda Kanga, selain dimensi ideologi, dimensi sosiologis dan dimensi biologis ditemukan juga dimesi kesemestaan. Dimensi kesemestaan yang ditampilkan dalam teks ritual Keda Kanga tersebut tidak dibatasi oleh ruang dan waktu seperti tana ‘tanah’, watu ‘batu’, liru ‘langit’, wula ‘bulan’, le’ja ‘matahari’, angi wara ‘angin barat’ dan angi timu ‘angin timur’, kesemestaan itu sebagai pertanda yang trasendensial atau diluar dari batas kemampuan manusia. Temuan Teoretis, Pertama, Dilihat dari teks ritual Keda Kanga yang diujarkan pada setiap tahap pembangunan Keda Kanga ‘rumah adat’, pada dasarnya teks-teks ritual tidak berdiri sendiri, walaupun teks-teks tersebut terlihat  monolog-dramatik namun sesungguhnya teks-teks tersebut sangat dialogis kontekstual. Dalam konteks ritual Keda Kanga, teks-teks ritual tersebut menunjukan kualitas dialogis yang kontekstual akan keyakinan, seruan, permohonan, ajakan dan memerintah kepada wujud anonim. Kedua, Kajian terhadap tuturan ritual Keda Kanga dapat memperluas teori ekolinguistik dialektikal yang kemukakan oleh Bang dan Door, bahwa Implikasi dari hubungan dialektikal antara bahasa dan praksis sosial adalah bahwa kajian terhadap bahasa berarti pula kajian terhadap praksis sosial, dan dengan demikian teori bahasa adalah juga teori praksis sosial. Jadi, kajian ekolinguistik dalam teori dilektikal adalah kajian tentang interrelasi dimensi ideologis, dimensi sosiologis, dan dimensi biologis dalam bahasa, dan juga penulis kembangkan dalam kajian ini adannya dimensi kesemestaan. Ketiga, Berdasarkan data empiris teks-teks ritual pada setiap tahap pembangunan Keda Kanga ‘rumah adat’ pada GTBLEF, maka penelitian memberikan kontribusi terhadap penguatan kajian ekolinguistik  dengan memberikan konsep baru dengan pengistilaan ekotekstualitas. Berdasarkan studi pustaka yang diuraikan oleh penulis pada Bab II terhadap pemanfaatan teori ekolinguistik dalam kajian bahasa baru sebatas pada leksikon-leksikon yang ada dalam teks-teks ritual yang berhubungan dengan parameter ekologi yaitu lingkungan (environment), keberagaman (diversity), Interaksi dan kesalingtergantungan (interrelation, interaction and interpendence) dan Keberlanjutan (Sustainability), belum ada yang secara spesifik mengkaji tentang ekotekstualitas. Di akhir obrolannya, Patris menceritakan bahwa dirinya mengikuti ujian tertutup ini di sebuah hotel karena hotel tersebut memiliki jaringan internet yang bagus. “Tidak bisa di kost karena jaringan internet kurang stabil. Ya terpaksa sewa hotel. Teman saya satu batal ujian Disertasi karena jaringan internet yang parah,” ucapnya sambil tertawa. Saat ditanya kapan dirinya akan melaksanakan ujian terbuka, ia menjawab bahwa, “dalam waktu dekat menanti jadwal yang diselenggarakan oleh pihak kampus.” (fwl/fwl)

Editor: Suluh Desa

Tags

Terkini

X