SOSOK, suluhdesa.com | Martinus Gabriel Goa atau Gabriel Goa, namanya tak asing bagi warga masyarakat Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) lebih khususnya di daerah Kabupaten Ngada.
Pria kelahiran 25 Maret 1967 ini merupakan pegiat sosial, hukum, dan HAM, yang sangat masif dan getol menolak praktik human traficking dan korupsi dan saat ini menjadi Staf Khusus Bupati Pegunungan Bintang, Papua Bidang Promosi Investasi Nasional dan Internasional. Walaupun berdomisili di Jakarta, Gabriel selalu ke Papua untuk mendampingi Bupati Pegunungan Bintang merancang kebijakan pembangunan daerah di sana.
Melalui lembaga Koalisi Masyarakat Pemberantasan Korupsi Indonesia (KOMPAK) dan Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian Indonesia (PADMA), Gabriel Goa tak segan-segan membawa para pelaku korupsi atau tindakan kejahatan lainnya ke hadapan Aparat Penegak Hukum (APH).
Gabriel Goa sangat kritis terhadap kebijakan pembangunan nasional dan daerah. Berbicara di media baik nasional maupun lokal, Goa selalu berdasarkan pada data. Tentu saja data-data yang diperolehnya melalui riset dan kajian bersama timnya yang tergabung dalam Institute for Research, Consultation and Information of International Investment.
Baca Juga: SP3 Kasus Katarina Kewa, PADMA Indonesia: Kapolri Harus Copot Kapolda Sumut
Memiliki banyak jaringan di pusat dan luar negeri membuat Gabriel Goa sangat berpengalaman. Berbagai kursus dan pelatihan dilakukannya. Baginya, pengalaman mesti didukung secara komprehensif.
Saat berbincang dengan Media SULUH DESA, Jumat (03/02/2023) siang, pria yang berasal dari Kecamatan Inerie, Ngada ini menyampaikan niatnya untuk menjadi Bupati Kabupaten Ngada Periode 2024-2029.
Gabriel Goa terpanggil untuk membangun dan memajukan Kabupaten Ngada sejak mendampingi korban transmigran asal Ngada, Provinsi Nusa Tenggara Timur yang terlantar di Kalimantan Barat karena perusahaan PirTrans mengalami krisis ekonomi tahun 1997.
Berdasarkan pengakuannya, para korban ini kemudian berhasil dipulangkan dan ditempatkan di daerah Translok (Transmigrasi Lokal) Uluwae yang dulu dikenal sebagai tempat buangan guru atau PNS bermasalah.
“Selain korban transmigran dari Kalimantan ditambah lagi Korban konflik Timor-Timur dan masyarakat lokal dari Kecamatan Aimere dan Golewa ditempatkan ke Translok Uluwae,” ungkap Gabriel.
Waktu itu wilayahnya masih gersang dan belum ada air bersih serta listrik.
“Sejak adanya Translok Uluwae maka kami bersama penghuni Translok Uluwae mulai bahu membahu mencari cara dengan melakukan lobi untuk masuknya air minum, pembangunan jalan, pemasangan listrik, pengolahan lahan dengan mendatangkan traktor dari Seminari Toda Belu Mataloko dan peternakan sapi, babi dan ayam,” kisahnya.
Menurut Gabriel, perlahan tapi pasti Translok Uluwae menjadi primemover pembangunan di Bajawa dan Riung Barat.